Cerpen Laskar Pemikat

Cerpen berdasarkan kisah nyata dengan sentuhan kegaringan

Friendsterku

Jumat, 10 April 2009

Sebuah Janji di Musim Gugur


SEBUAH JANJI DI MUSIM GUGUR
(Wildan Duasisi)

Saat itu angin agak senewen, menggoncang-goncangkan tubuh kurus batang suren, membuat debu beterbangan, berputar-putar kemudian hilang, seperti ruhku yang hilang dalam lamunan. Seolah Tuhan mengirimnya ke sebuah negeri dimana langitnya selalu berwarna jingga senja, dimana seorang mubtadi cinta melangkah perlahan menuju bangku taman, menanti seorang bocah lelaki yang berjanji akan mengajaknya melakukan sebuah permainan.
Lama gadis itu menanti. Namun, lagi-lagi hanya terdengar langkah kisik angin barat yang menggesek daun-daun yang tumpang tindih di tanah, saat hari menjelma malam. Rasa dingin mulai menjalar dari bentang kulit ke jantung, merambat melalui syaraf kekecewaan.
Seperti sebelas tahun lalu, aku menanti bocah lelaki yang kini telah tumbuh dewasa itu di bangku taman ini. Ya, masih di bangku ini. Tepat ketika awan mega mementaskan teater senja di panggung langit. Mungkin sepasang boneka ini akan membuatnya semakin mudah meretas kenangan. Kupandangi kedua boneka yang sering kami mainkan dulu. Aku berharap ia akan mengurungkan niatnya.
Dulu, saat musim memaksa daun-daun meninggalkan rantingnya, aku mendengar bisikan lirih, namun terus menggema, memantul-mantul di dinding ruang hati. Dengan malu-malu, bocah lelaki itu berkata, “aku mau jadi pacarmu”. Disusul suara adzan yang seolah menjadi soundtrack sebuah kisah dimusim gugur. Seketika wajahku memerah, semerah paras mentari senja itu.
Memang aku tak dapat melihat waktu, namun ia jelas ada dan tak pernah tertidur. Ia membuat bocah lelakiku tumbuh remaja, hingga ia tak mau lagi bermain boneka. Sekalipun ia tahu aku selalu menantinya tiap sore di bangku taman ini, ia sama sekali tak pernah datang seperti biasanya bersama Gugo – boneka Tazmanianya. Sempat aku memaksanya datang, namun malah membuatnya marah. Sampai-sampai ia menggunting hingga putus tangan Gugo dan melemparkannya tepat pada wajahku.
Kembali kupandangi Abela, boneka barbie-ku. Nampak kumal dan lusuh karena sudah menahun disekap dalam kardus bersama bangkai kecoa dan segunduk perabot bekas. Disamping kanannya duduk tenang Gugo si Tazmania yang menjadi tempat Abel bersandar.
Ini bukan pertama kalinya dia membuncahkan air mataku. Sebelumnya, ia pernah mengkhianati kepercayaanku. Ia lebih memilih menjalin cinta bersama wanita lain yang baru ia kenal. Sementara aku, wanita lugu yang sudah mendampinginya selama sebelas tahun, dikubur dalam-dalam hingga tak mungkin mencuat sehelai rambut pun.
Sedih bila kuingat sebuah janji di masa kecil dulu. Diatas tanah berlapis debu kami duduk. Ia tuliskan nama kami di sana. Kemudian sebuah gambar hati membalut nama-nama itu: Wildan – Selvy.
Kami lingkarkan jari kelingking kami dan melafalkan janji manusia-manusia lugu. “Kami berjanji, akan menjadi pasangan sejati, setia sampai mati. Kami, di bawah pohon suren, di atas bangku taman, telah resmi menjadi sepasang kekasih. Kalau nanti kami diberi umur panjang, kami akan menikah.”
Sepasang merpati mengamati dan nampak tertawa dalam hati mendengar bocah-bocah berumur delapan tahun berpikiran jauh untuk menikah. Lagi-lagi adzan magrib mengiringi kisah kami, sekaligus menjadi alarm untuk kami berpisah.
Kini ia temukan lagi seorang wanita yang membuatnya harus melepasku. Padahal dulu, aku sudah memaafkannya dan percaya kalau dia takkan menghianati lagi kepercayaanku. Namun salah. Kini aku menunggunya karena katanya ia ingin membicarkan hal itu. Aku tetap datang walau aku tahu ia hanya ingin bilang “kita putus”. Dan ternyata dugaanku benar.
Kesedihan membuatku lupa segalanya. Yang aku ingat kini hanya saat pertama aku dan seorang bocah kecil bertemu. Seorang bocah dengan boneka di tangannya. Oh ya, saat itu aku terjatuh dari sepedaku karena aku terkejut saat sebuah mobil menjerit memberikan bunyi klakson dari arah belakang. Ia datang, merangkulku menuju bangku taman – sebuah tempat yang penuh kenangan. Sambil memperlihatkan senyum dan gusi ompongnya, ia membasuh lukaku dengan air minumnya.
Angin mengibaskan sepercik keluguanku hingga muncul sebuah perasaan yang tak aku kenal. Membuatku selalu tersenyum sendiri sambil memandang langit-langit kamar. Apa sebenarnya ini? Mengapa aku selalu teringat wajah lugunya? Mungkinkah ini yang orang-orang bilang cinta? Mengapa harus pada pertemuan pertama? Sungguh banyak pertanyaan dalam benakku.
Namun hari ini, aku hanya mampu mengadu pada purnama tentang muasal mengalirnya air mata yang menghulu di pipiku, tentang seorang lelaki yang tak sadar betapa setianya aku menanti. Benar-benar sulit kuterima saat kata “putus” itu kudengar begitu lantang. Ia datang bersama gadis yang pasti akan menggantikan posisiku dalam hatinya itu, mendadak hawa panas mengepul di taman senja itu.
“Dan, lihatlah! Aku sudah menjahit lengan Gugo-mu yang putus.” ucapku seolah takkan terjadi apa-apa. Padahal sekuat mungkin kutahan sesak dalam dada. Mungkin dia bisa membaca perasaanku karena suaraku terdengar gemetar.
Lelaki itu tak merespon, hanya melihat sekejap boneka Tazmanianya.
“Oh iya, lihat disana! Aku menuliskan lagi nama kita di atas tanah,” ucapku lagi untuk membuatnya ingat betapa indah kisah cinta kami saat kecil dulu.
Dia masih terdiam. Lelaki itu malah menggenggam tangan wanita disampingnya. Itu yang membuat usahaku untuk menahan tangis berakhir sudah. Saat aku menagis dulu karena terjatuh dari sepeda, dia yang menyeka air mataku. Namun kini, aku membiarkan air mata ini kering oleh angin musim gugur. Kemudian lelaki itu berkata dengan tegas, ”Dia wanita yang aku pilih. Maafkan aku, Vy! Kurasa kau telah dewasa untuk menerimanya.”
Hingga saat ini aku masih menantinya di taman bersama sepasang boneka yang juga nampak penuh harap. Sepasang merpati yang dulu menjadi saksi terjalinnya cinta kami, datang kembali bersama tiga ekor buah hati mereka. Aku iri.
Tak dinyana, lelaki yang kutunggu kehadirannya yang tak pasti itu, datang bersama malaikat bersayap jingga di pundaknya. Ia menghampiri dan meminta maaf kepadaku untuk kedua kalinya. Aku terlalu senang hingga tak banyak berfikir untuk menerima cintanya kembali. Dan untuk kedua kalinya pula kami ucapkan sebuah janji yang sama seperti dulu sambil melingkarkan jari kelingking kami.
“Kami berjanji, akan menjadi pasangan sejati, setia sampai mati. Kami, di bawah pohon suren, di atas bangku taman, telah resmi menjadi sepasang kekasih. Kalau nanti kami diberi umur panjang, kami akan menikah.”
Namun sayang itu hanya khayalan. Bayangan lelaki itu hilang bersama datangnya malam. Sepasang merpati nampaknya menangis dalam hati. Dia tak pernah kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar