Cerpen Laskar Pemikat

Cerpen berdasarkan kisah nyata dengan sentuhan kegaringan

Friendsterku

Jumat, 10 April 2009

Persembahan untuk Sebuah Lemari Tua

PERSEMBAHAN UNTUK SEBUAH LEMARI TUA
(Wildan Duasisi)
Tuhan bangunkan kami dengan caranya, membisikan celoteh parkit di balik terpal kumal bergambarkan tunas kelapa berwarna hitam dengan dua buah daun yang mencuat berlawanan arah. Disambut suara gemericik gerai air terjun di samping tenda terpal kami yang jatuh seraya melagukan kesyahduan nyanyian pagi. Dalam sujud kami, hanya satu hal sederhana yang kami panjatkan sebagai sebuah doa, sebagai permintaan yang selalu kami teriakan dalam dada. Ya Tuhan, kami yakin kau ada bersama keadilan dan kemahakehendak-Mu, maka tunjukanlah pada kami hari ini! Kami lepaskan doa seperti membebaskan merpati untuk menembus kabut pagi itu, merusup awan dan menyampaikan surat pada sang Kholik. Rerumputan yang kami pijak, pohon cemara, karet, dan angsana turut mengamini. Andai ada cara yang bisa kami lakukan untuk membayar udara sejuk yang kami hirup, namun kami hanyalah para manusia lemah yang hanya mampu mempersembahkan tunduknya kening pada sajadah bumiNya.
Paras langit semakin lama semakin terang, selesai menggunakan seragam lengkap, kami segera meretas rasa malas untuk melakukan ritual alam, “memasak rimba”. Gotong royong adalah harta yang kami miliki yang tak mungkin kami tukar dengan kemewahan kota mana pun. Setelah rombongan kami yang terdiri dari lima orang laki-laki membawa kayu bakar dan bambu hitam, rombongan wanita yang terdiri dari dua orang, kini yang harus menjalankan tugasnya.
Memasak rimba adalah memasak dengan menggunakan bambu. Beras yang sudah di cuci dimasukan ke dalam bambu yang telah dialasi daun pisang. Kemudian diberi air kelapa dan bumbu, seperti bawang merah, cabai dan ikan teri. Setelah itu, bagian luar bambu diolesi minyak goreng agar tidak hangus dan dimasukan ke dalam api. Kenikmatannya ada ketika kami bersama. Canda tawa selalu menjadi saus paling nikmat. Dan, bagiku senyum Selvy adalah lauk yang membuat makanan apapun serasa buah yang berjuntai pada pohon anggur di dalam Firdaus.
Bukan hal yang sulit bagi kami untuk melakukan hal-hal yang berbau “alam”. Pasalnya, sekolah kami juga tak begitu akrab dengan suasana kota. Bukannya sombong, memang tak ada yang harus kami sombongkan. Jarak sekolah kami dari jalan raya adalah 900 meter. Bukan hanya itu, untuk bisa sampai pada tujuan, kami harus melewati BPP (Badan Pertanian dan Peternakan). Pastinya yang kami temui disana pertama kali adalah sapi. Setelah puas menghirup habis wanginya kandang sapi, kami pun melanjutkan perjalanan melewati pematang sawah. Tenang, perjalanan belum usai. Hutan bambu adalah kawan akrab kami yang tiap pagi menyapa kami lewat suara gesekan dan gerecek bunyi daun gugur yang terinjak sepatu kami yang sudah bercampur tanah sawah. Jadi kalau kalian ingin tahu jalan menuju sekolah kami katakan “Kandang sapi – sawah – hutan bambu”.
Sedih bila kami pandangi sebuah lemari kayu tua yang berdiri di koridor menuju ruang kepala sekolah. Hanya ada empat buah piala yang setia bertengger di sana. Sebuah piala gerak jalan dari kecamatan, juara 3 tenis meja se-Kabupaten, Juara harapan lomba baca puisi di Cikarang, dan satu piala yang juga bagian atasnya sudah patah, namun tetap menjadi kebanggan, juara 1 murid teladan tingkat SMA se-Kabupaten. Dan kini kami – tujuh anggota pramuka, berjanji pada diri kami untuk membawa teman baru untuk piala-piala tua itu.
Sekolah kami juga bukan sekolah yang mewah. Letaknya yang diapit pabrik-pabrik batu-bata dan tanah persawahan membuat orang tak tahu kalau ada sekolah yang berdiri disana. Tak banyak orang pintar yang sudi sekolah disana. Kalaupun ada, pastinya karena faktor ekonomi. Ya, SPP sekolah kami tergolong paling murah di banding sekolah unggulan.
Saat memasuki gerbang sekolah, kalian tidak akan disambut alas semen atau rumput hijau, yang ada hanya tanah yang setiap musim kemarau menerbangkan debu-debu atau setiap musim hujan membuat genangan air dan tanah lembek. Setelah itu berjejer ruang kelas yang lantainya tak luput dari lubang, bangku-bangku kayu reot yang dihiasi coretan tipe-x tumpang tindih.
“Dan, kamana awi maneh?” tanya Anggi mengingatkanku ketika melihat aku tak lagi membawa bambu.
“Ya ampun, katinggaleun di pos pemberangkatan.”
Kacau sudah pikiranku. Bukan hanya belum mendapatkan konsep untuk membuat miniatur rumah adat, aku pun menghilangkan barang terpenting yang menjadi bahan utama lomba itu. Padahal membuat miniatur rumah adat adalah salah satu mata lomba yang akan kami lalui di salah satu pos dalam perjalan nanti.
Lomba yang kami hadapi terdiri dari empat pos, setiap pos adalah tempat berlangsungnya salah satu mata lomba. Dan, bambu itu akan sangat aku butuhkan di pos empat.
Setiap langkah kami selalu turut sebuah bayangan lemari tua yang hanya berisi empat buah piala. Itu yang membuat kami tak peduli dengan apapun. Termasuk seragam kami. Perlu kalian ketahui, warna coklat seragam kami tak sama satu dengan yang lain. Rasanya ingin sekali terjun ke sungai saat peserta lain dengan tegapnya berjalan memamerkan baju katrina yang ketat dan seragam, serasi dengan baret wol yang kami tahu haraganya 75.000 per buah. Sementara kami, bukan hanya baju yang kedodoran, baret kami pun hanya baret bludru yang sudah semerawut dan topi rimba anggota putri yang kekecilan – sebetulnya topi rimba untuk anak SMP yang di cat kuning hingga tak nampak warna coklatnya. Sungguh sempat membuat nyali kami mati sebelum berperang. Namun itulah yang kami punya.
Kami lupakan sejenak bambu yang hilang itu. Dengan seketika semerawut dan minder itu hilang ketika 300 meter perjalan kami tempuh. Ya Tuhan, kami diapit berhektar-hektar padang rumput dengan ujung pandangan adalah panorama lukisan persawahan, menampilkan hamparan hijau padi yang terlihat seperti permadani. Beberapa gembala menyandarkan punggung mereka pada batang pohon angsana, menyeka kebosanan sambil meniupkan seruling bambu sahut bersahut. Dengan irama yang luar biasa tajam hingga menikam gundah dan merebakkan rasa tenang khas pedesaan. Inilah Babelan.
Langkah kami terus mengayun seiring melepas serpihan kuasa Tuhan.
“Hai, salam Pramuka!”
Seorang peserta dari Tambun sambil mengibas-ngibaskan baretnya. Kami tahu apa maksudnya itu. Lihat baret kami! Apa kalian merasa pantas bersaing dengan kami “Peleton Tambun Selatan”. Jangan kira juri akan kasihan melihat kalian. Ini ajang se-JABODETABEK. Bukan lomba merebutkan piala camat. Kurang lebih seperti itu sindiran lewat gesture memuakan itu. Diiringi tawa cekikik para anggota mereka yang lain.
“Sabar, Dy!” kataku kepada Sandy, pria paling tinggi yang kami tunjuk sebagai ketua dan pemegang peta perjalanan.
Sebetulnya dibalik kekurangan kami secara materil, kami punya orang-orang yang menyembunyikan bakat mereka dibalik daki kumal. Anggi adalah pria kecil kurus yang punya strategi luar biasa, maka dari itu, kami tak salah mrnunjuknya sebagai ketua ambalan. Dan beberapa orang lainnya yang juga bukan remeh sembarang remeh.
“Wooooo…!!!” Teriak Doni begitu lantang hingga memantul menggema diantara hamparan datar tanah Babelan.
Disambut oleh kami dengan sebuah tepukan dada yang berseling dengan tepukan tangan membentuk sebuah nada. Dan diakhiri dengan kata “salut”. Betapapun kami dihina, kami adalah orang yang senang berapresiasi.
Mereka tercengan mendenger lantang suara komandan peleton kami. Itulah Doni. Kalian akan bersaing dengan seorang tarzan dari Cikoronjo. Kami berjalan berlalu penuh percaya diri sambil kulihat raut wajah Selvy yang selalu datar hingga mengundang tanya, apakah dia bisa jatuh cinta? Khususnya padaku.
“Wildan, lihat!” ucap Lisna menepak pundakku.
Sebuah bendera kitri berwarna ungu. Itulah lambang Pos yang harus kami lalui.
“Kalian hanya punya waktu 20 menit. Yang harus kalian lakukan adalah mengisi sebanyak-banyaknya 100 soal yang ada pada lembar soal,” ucap panitia setelah kami sampai dan berbaris berdasarkan tinggi badan. Jelas aku berdiri di belakang. Setidaknya tidak paling belakang, karena tinggi badanku sedikit lebih ideal dibanding Yunas.
Ingatkah kalian bahwa B.J. Habibie bukanlah orang yang tinggi. Orang bilang, orang yang pendek itu biasanya pikirannya panjang. Entah benar atau salah. Biarpun Yunas adalah orang yang pendek, namun harus kalian ketahui bahwa diantara kami, dialah yang paling bisa diandalkan dalam hal teknis kepramukaan. Segala pengetahuan mengenai Pramuka adalah bidangnya. Tidak heran bagi seorang maniak Praja Muda Karana.
“Teu mungkin. Sepintar apapun manusia, dia moal (tidak akan) mampu mengisi soal sebanyak seratus dalam waktu dua puluh menit,” ucap Yunas saat kita berdiskusi sejenak sebelum waktu penghitungan dimulai.
“Tentu sepintar apapun manusia, ‘dia’ tidak akan bisa menyelesaikan soal ini dalam tiga puluh menit,” timbal Anggi. “Jika 20 menit atau 1200 detik dibagi 100, maka tiap soal hanya punya waktu 12 detik. Sementara kita harus membaca dahulu soalnya, setidaknya 7 detik per soal. Sisanya adalah waktu untuk berpikir dan menulis jawaban,” Anggi terdiam sejenak sambil menunjuk kearah kami satu persatu. Entah apa yang sedang otaknya pikirkan. “Jika hanya ‘dia’, tidak akan bisa menyelesaikan tepat waktu, bagaimana kalau ‘mereka’?”
Kami mulai tak mengerti apa yang ia maksud. Sementara aku perhatikan peserta yang lain nampak kebingungan. Soal mereka nampak tak ada yang tuntas. Muka pucat bertebaran di hutan karet saat itu. Teduhnya alam karena payung kerimbunan daun karet tak mampu mencegah jatuhnya peluh para peserta yang panik.
“Begini,” sambung Anggi. “Kita akan sobek kertas jawaban itu menjadi 4 bagian. Tiap sobekan diisi oleh 2 orang, kecuali satu sobekan lainnya, karena jumlah kita hanya tujuh orang.” Kami mulai mengerti. “Dengan begitu kita akan mempunyai waktu yang lebih luang.”
“Aku dan Wildan bertugas menyelesaikan nomor hiji sampai dua puluh lima, Lisna dan Selvy mengerjakan setelahnya hingga nomor lima puluh, Sandy dan Doni nomor lima puluh satu hingga tujuh puluh lima, dan sisanya Yunas sendiri,” ucapnya sambil melipat kertas jawaban menjadi 4 bagian dan menyobeknya sambil membagikan satu persatu kepada kami.
“Salut!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!” teriak kami setelah selesai mengerjakan sebelum waktunya. Sekilas aku perhatikan panitia tersenyum kagum sambil menerima kertas jawaban dari kami.
Siul angin yang berhembus disela-sela ranting yang berhimpit, menyanyikan untuk kami sebuah lagu Hymne Tonsus. Lihat alam, kami adalah para Peleton Khusus yang dikirimkan untuk mempersembahkan sebuah prestasi bagi sebuah negeri terbelakang, Cikoronjo. Dimana berdiri terpogoh sebuah gedung sekolah sederhana yang selama dua puluh empat tahun umurnya, baru bisa mengantongi empat piala. Lihatlah alam, kepada kau kami jadikan saksi, kami kucurkan darah sekalipun akan kami lakukan agar lemari tua bisa berbangga dengan rahimnya yang berisi prestasi cikal bakal remaja-remaja yang peduli.
***
Kadang pemandangan sawah yang kami lalui tiap pagi menuju sekolah amat kami syukuri. Yaitu pada saat musim sebelum panen. Ketika bulir-bulir padi mulai menguning. Hutan bambu rindang dan menebar aroma khas pedesaan. Bagaimana tidak. Kini di sekitar kota Cikarang sudah jarang sekali pemandangan sawah. Semua sudah menjadi perumahan, tempat para penduduk pendatang berteduh dari panas dan hujan. Jumlah penduduk pendatang tiap tahunnya selalu meningkat. Itu bisa dipastikan karena mereka mengadu hidup di kota industri terbesar se-Asia tenggara ini.
Malam ini, setelah melewati pos dua di Kabupaten Tambelang, kami terlentang di atas rumput bumi perkemahan sambil memandang langit.
“Menurut kalian, sekolah siapa yang paling bagus?” tanyaku memancing sebuah perbincangan kurang bermutu.
“Jelas sekolah kita. Sekolah mana yang multiguna – sekolah sekaligus kebun binatang? Ada ayam, kambing, sapi,” jawab Lisna.
Aku masih mendengar, tapi mataku tak lepas dari tubuh Selvy yang tengah duduk sendiri.
“Kalian ingat waktu ada kambing yang masuk kelas kita? Dia masuk saat pelajaran Fisika. Kambing itu makan dari keranjang sampah, tapi malah membuat tanduknya tersangkut. Dia jadi kalang-kabut sambil terus berlari ke arah para murid. Semua wanita naik ke atas kursi, sebagian laki-laki juga naik ke kursi. Ada yang malah menungganginya. Aku sebel sama kambing itu, makanya aku lempar pakai buku tulisnya Sandy,” ujar Doni enteng.
“Walah,” Sandy bermaksud memprotes.
Aku sebetulnya sudah tak mendengar apa yang mereka katakan. Semua indraku tertuju pada Selvy. Sedang apa ia duduk sendiri, memisahkan diri dari kami? Nampaknya ia sedang memikirkan sesuatu. Tapi apa?
Langkahku ragu, mengayun perlahan menuju gadis manis pendiam itu. Ya, dia begitu pemalu. Bahkan ia tak pernah berani menyebut namaku. Jika hendak memanggil, ia akan mengatakan ‘Hoy’ atau “Hey’. Anehnya hanya padaku ia seperti itu.
“Selvy, ada apakah dengan telaga itu? Apakah jiwamu tenggelam ke dasar sana. Aku rasa, tak terus kau pandangi pun, telaga itu tak akan hilang.”
“Ini tentang hari esok,” ucapnya singkat seperti biasa.
“Ada apa dengan hari esok?” tanyaku singkat juga untuk mengimbangi sifatnya yang sedikit acuh.
Matanya kini memandang pantulan lampu-lampu tempel tenda peserta lomba Tapak Penegak se-Jabodetabek ini lewat permukaan telaga. Aku bisa merasakan sebuah kesedihan yang tertahan dalam dadanya. Ia menghela napas panjang.
“Aku akan pindah sekolah ke Purwakarta. Aku akan ikut dengan pamanku.”
Bukan main kagetnya aku. Belum sempat aku berkata apa-apa tentang perasaanku.
“Wildan…” imbuhnya.
Ya Tuhan, dia sebutkan namaku untuk pertama kali. Entah harus merasa senang karena aku sudah tahu kalau dia hafal namaku atau sedih karena aku akan berpisah dengannya.
“…bacakan aku sebuah puisi!” Ucapnya lagi dalam satu napas.
Aku mendadak bingung. Puisi? Baiklah, ini mungkin puisi terakhir untuknya, sekalipun ia tak pernah tahu begitu banyak puisi yang tercipta untuknya.

ditiap malam kau menjelma menjadi rindu yang membuatku menembus waktu,
meretas kenangan untuk kulintasi kedua kali,
ketika umur tak cukup lama kujalani,
kan kuwariskan kata cinta untuk kau simpan di tempat itu,
bersama segunduk bayangan yang jernih tergambar,
tentang sepasang kekasih yang menyambut hujan, menghirup habis udara malam, berbagi kehangatan telapak tangan, bersama, selalu bersama...

bila ada sesuatu yang membuatmu malu tersenyum, membuatmu lupa tertawa, undanglah aku dalam mata hatimu,
aku ada, kau selalu yakin itu,
jangan buat jiwaku samar dalam hatimu,
buatlah aku nikmati kepergianku..

jangan lupa hiasi kamarmu di satu malam,
ketika bulan sempurna menjelma purnama,
semayamkan bunga kristan di bawah bantal, taburkan lantunan doa di tiap sudut ruang, rekatkan kepingan kenangan di langit-langit kamar, ukir pula nama kita di pintu depan, maka aku akan datang dalam mimpimu untuk ajak kau ke negeri penuh pelangi.

***
Buana mulai menunjukan betapa seramnya kampung orang saat tengah malam. Bulu bergidik saat lolong srigala sahut menyahut, entah apa yang sedang mereka bahas. Burung-burung malam memamerkan nuansa keangkeran. Derap-derap lantang suara langkah kaki di samping jalan membuat sedikit ramai. Yang paling aku takutkan adalah pohon-pohon lebat yang menari-nari. Sialnya tadi siang aku sempat mendengar cerita tentang kuntilanak.
“Gi, kamu itu ngelindur ya? Malam-malam minta antar ke WC?” celaku.
Tanganku masih menyusuri wajah yang lelah. Berharap tidak ada kotoran di mata.
“Aku sudah tidak tahan. Kebelet, nih! Kamu tunggu di sini ya!”
Dia tidak bisa merasakan apa yang aku rasakan. Ku perhatikan kesekeliling, semoga saja tidak ada hantu yang menepuk pundakku dari belakang.
Jalan teramat gelap. Pandanganku tak dapat menembus dinding pekatnya malam. Bahkan aku tak melihat sepeda motor tua melintas tanpa penerangan. Bukan hanya kami, pengendara sepeda motor itu pun nampaknya tak melihat kami. Setelah selesai mengatasi urusan perut, aku dan Anggi berniat kembali ke tenda. Namun sial, sepeda motor tersebut menerjang tubuh kurus temanku itu hingga terpental kesamping jalan. Aku kaget dan benar-benar tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata.
Aku masih mendengar suara Anggi, ia berteriak.
“Allahu Akbar, sakit… nyeuri..!!!”
Tulang kakinya pasti patah, sendinya lepas. Aku mendengar suara benda retak saat dia diangkut ke dalam ambulan.
“Wildan, sakit… tolong aku, Dan! Sakit….”
Suara Anggi tersamar oleh sirine ambulan. Aku terus menggenggam tangannya sementara mobil itu terus saja melaju begitu angkuh, menggeser semua kendaraan yang menghalangi.
“Sabar, Gi! Bayangkanlah nanti jika kau sembuh, kau akan lihat piala-piala hasil buah karyamu. Aku janji, kami akan membawa pulang semua piala itu!”
Anggi berhenti merintih, matanya memperhatikan bidai yang membalut kakinya.
Pagi harinya aku melanjutkan kembali catatan panjang Tapak Penegak. Kakiku yang terus melaju, mengayun seiring dengan ritme kokok ayam, tak mampu membuat pikiranku beranjak dari kejadian tadi malam. Kini sang ahli strategi telah gugur sebelum sampai pos tiga.
Lagi-lagi kami bertemu dengan peleton Tambun selatan. Derapnya lantang, penuh percaya diri. Yel-yel yang mereka nyanyikan menyeruak diantara keheningan pagi. Seolah ada hipnotis, setelah melihat begitu seragamnya pakaian mereka, kami pasti saling melirik satu sama lain antar anggota peleton SMA kami. Dalam hati mungkin kami berkata serupa, “Hey, bajumu terlalu coklat!” atau “Harusnya kalian samakan warnanya dengan pakaianku!” perdebatan dalam hati mengenai mengapa warna coklat pakaian kita tak sama, masih jadi kontroversi.
Dalam langkah kami yang kesekian, kami bertemu dengan seorang pedagang bambu. Artinya, kami harus membeli itu. Ya, kalau tidak aku tidak dapat mengikuti lomba di pos empat. Di antara beberapa objek yang terjangkau mata, aku melihat sebuah sangkar burung yang terbuat dari bambu. Itu menginspirasi untukku membuat konsep miniatur rumah adat.
Pos tiga berada disamping rumah penduduk. Disini kami diharuskan menunjukan sebuah variasi dalam baris berbaris. Sayangnya anggi tak dapat menyaksikan hasil karyanya ini. Dalam kepramukaan, baris berbaris identik dengan kegagahan atau sikap tegap. Namun, Anggi sedikit menyimpang dari konvensi tersebut. Kami akan tunjukan bagaimana jika kami tunjukan sesuatu yang berbeda.
“Empat langkah samping kiri… jalan!” ucap Doni sang komandan peleton dengan suara bulat dan lantang.
Jika mendengar aba-aba tersebut otomatis kami akan mengkat tongkat masing-masing sejajar dengan dada kanan kemudian melangkah sebanyak empat kali ke kiri. Saat ini posisi kami tepat berada dibawah teras rumah penduduk. Rumah tersebut terbuat dari bilik bambu dan jarak antara alas dan genting tidak terlalu tinggi. Sebuah rumah yang sangat sederhana, bahkan tidak ada langit-langit. Jika berada di dalam sana, kalian akan melihat genting langsung.
“Empat langkah samping kanan… jalan!”
Perasaanku tidak enak melihat Sandy yang notabene berbadan tinggi. Benar saja, ketika ia mengangkat tongkatnya, tiba… tiba…
Bletrak…
Tongkatnya menyundul genting rumah itu hingga terbelah. Gawat, nampaknya konsentrasi kami terpecah seperti pecahnya genting itu. Yang paling gawat adalah Doni. Ketika kami dalam intruksi langkah tegak maju, ia lupa mengintruksikan “Henti… grak” sampai kami hampir saja menerabas jurang kecil didepan kami. Spontan Sandy dan Yunas berhenti mendadak, disusul aku yang berhenti karena menabrak badan Yunas, dan Selvy menabrak tubuhku. Inilah yang kami sebut tabrakan beruntun.
Barisan kami terdiri dari tiga baris dua banjar. Paling depan adalah Sandy dan Yunas, baris kedua adalah aku dan posisi kosong yang harusnya diisi oleh Anggi. Dan barisan paling belakang adalah Selvy dan Lisna. Serta Doni sebagai komandan peleton berdiri terpisah.
Saat variasi koloni tongkat berlangsung, kami menunjukan sebuah tarian khas bekasi, yaitu tari topeng bekasi. Yang menjadi penari adalah Lisna dan Selvy, kemudian para lelaki membuat ketukan pengiring tarian dengan cara menghentak-hentak tongkat kami membentuk sebuah nada berkala diselingi lempar tangkap tongkat yang teratur. Sungguh perpaduan yang penuh inovasi.
Setelah tari topeng berakhir, kami lanjutkan pertunjukan dengan gerakan slow motion pencak silat. Yang menyedihkan adalah aku, karena Anggi tidak ada, aku melakukan monolog. Bertarung tanpa lawan, sementara yang lain berpasangan. Aku merasa seperti orang gila.
Walaupun ada insiden genting tersundul dan tabrakan beruntun, performance kami tidak jelek. Dan kami yakin tak ada sekolah lain yang mempunyai konsep semacam itu.
***
Dalam kepramukaan, Tanda Kecakapan Umum (TKU) menjadi simbol keagungan. Itu adalah penanda tingkatan seorang praja muda. Bila kalian lihat sebuah trapesium melekat dipundak bertuliskan “Bantara” artinya orang tersebut satu tingkat di atas praja lain yang tidak berpangkat, jika tulisannya adalah “Laksana”, maka di adalah orang yang benar-benar patut di hormati. Laksana adalah pangkat tertinggi dalam tingkat SMA. Tidak mudah mendapatkan pangkat dalam kepramukaan. Bahkan hanya untuk mendapatkan TKU Bantara, kami harus berjalan sendiri di tengah hutan wahana bakti sambil membawa sebatang lilin memecahkan teka-teki yang tersebar disana. Lain lagi dengan TKU Laksana, tak banyak yang lulus menjadi Penegak Laksana. Orang itu harus bisa berpikir kritis, karena akan ada banyak intruksi jebakan yang membuat kalian kehilangan TKU Bantara dan tidak mendapat TKU Laksana. Selain itu, kami harus berendam saat tengah malam di sungai Cipamingkis serta harus berjalan selama dua hari menuju Cibodas sambil mengumpulkan tanda tangan camat dari setiap kecamatan yang dilalui.
Diantara kami, hanya aku, Yunas dan Anggi yang berhasil lulus menjadi seorang Laksana. Tak heran bila kami bertemu dengan anggota pramuka dari SMA lain, mereka akan menatap TKU dipundak kami kemudian berlalu sambil berjalan merunduk.
“Bu, tolong beli es teh manis,” pintaku halus sambil menyandarkan kepala ke penyangga bale.
Bale adalah sebutan untuk kursi panjang yang terbuat dari deretan bambu. Dalam bahasa Indonesia namanya balai.
Seorang peserta tapak penegak dari Jakarta nampaknya memperhatikan aku penuh selidik. Lelaki itu mungkin memperhatikan seragam kami yang kedodoran, kumal dan tak sama satu dengan yang lain. Atau… entalah.
“Dy, tolong bantu aku di pos empat nanti ya! Aku butuh orang yang bisa membelah bambu dengan rapi,” pintaku pada Sandy.
Orang yang memperhatikanku itu memalingkan muka saat aku menatapnya. Aneh, dia dan kawan-kawannya berpangkat Laksana.
“Kak,” kakak adalah panggilan paling santun sesama anggota pramuka “Maaf, apakah kalian semua peleton inti dari SMA kalian” lanjutku sesopan mungkin.
“Tidak,” ucap lelaki yang baru aku tahu namanya adalah Anjar.
“Kami bukan penegak Laksana, TKU ini kami beli di toko,” imbuhnya sedikit sungkan.
Aku terkejut. Seenaknya saja mereka membeli apa yang bagi kami adalah kebanggan yang harus kami bayar mahal.
“Kak, jika kalian ingin dihormati, jadilah praja muda sejati. Kalian tidah sadar betapa beratnya memikul TKU itu. Laksana bukan barang murah yang bisa kalian beli di toko. Tidak akan berarti apa-apa jika kalian tak punya kecakapan setara dengan apa yang melekat di pundak kalian.”
Mereka tertunduk lesu karena sebenarnya mereka tahu mereka salah. Hal itu kecil, namun menyalahi etika dalam kepramukaan. Ini adalah pelajaran: kehormatan tak datang dari apa yang melekat di tubuhmu yang kau beli sebelumnya.
“Dy, aku butuh 14 buah bambu berbentuk seperti sumpit berukuran 90 senti, 6 buah yang berukuran 30 senti, 6 buah yang berukuran 60 senti, potongan bambu pipih melengkung berukuran 120 senti dan sisanya akan aku buat sendiri,” ucapku pada Sandy yang menjadi asistenku.
Di pos empat ini hanya boleh menyertakan dua orang anggota. Sementara yang lain hanya boleh menonton. Sebenarnya aku malu pada juri. Ya, lagi-lagi tentang seragamku. Apa lagi aku melihat bagaimana SMA Puja Bangsa menggunakan kaos Kontingennya yang bercorak seperti ABRI, SMA 3 Depok yang lebih unik, yaitu kontingen khas bercorak hitam gagah. Dan SMA bogor, Cikalong yang tetap identik dengan kaos kontingen yang bergambar praja menunggang harimau. Sementara kami, agar baju pamuka kami tak basah oleh keringat, kami tidak menggunakan kaos kontingen, melainkan membuka baju dan hanya mengenakan kaos dalaman. Yang lebih memalukan adalah Sandy karena telanjang dada sama sekali.
Pertama, aku buat 3 buah rangkaian bambu berbentuk persegi panjang 30 x 90 senti. Di tengannya aku lekatkan dengan kawat sebuah persegi panjang lain berukuran 30x 60 sehingga membentuk huruf “T”. Kini aku punya 3 buah “T”, semua itu aku sambung dengan potongan bambu secara vertikal. Kini “T” tersusun secara bertingkat. Setelah itu aku buat kerangka untuk atap. Pada bagian atas kerangka utama, aku sambungkan lagi secara vertikal bambu berukuran 20 senti di sudut kiri dan kanan, dan 10 senti di bagian tengah. Di ujung bambu tambahan itu aku rekatkan dengan kawat sebuah potongan bambu pipih hingga bentuknya melengkung dan menjorok kedalam bagian tengahnya. Jadilah kerangka “Miniatur Rumah Gadang”
Gawat, waktunya hampir habis. Aku belum menyelesaikan bagian atapnya. Rencananya aku akan pasangkan rangkaian injuk sebagai atapnya.
“Sandy, kau bantu aku menyusun injuk ini!”
Kepalaku terasa panas. Keringat mengucur deras. Aku perhatikan beberapa orang telah selesai dengan konsep mereka masing-masing. Ada yang menggunakan bubur kertas, ada yang menggunkan anyaman bilik. Dan semua itu telah selesai sebelum 3 jam. Waktuku tinggal tiga menit lagi.
“Waktu sudah habis!” teriak panitia dengan pengeras suara.
Tingkahku sudah tak karuan. Teman-teman melihatku dengan panik. Sandy nampak lemas.
“Pak, kami minta waktu tambahan!” aku yakin.
“Tidak bisa.”
“Begini saja, beri waktu lima menit, maka saya akan menyelesaiakan. Namun jika kenyataannya saya belum selesai, saya rela didiskualifikasi.”
Beberapa peserta yang juga belum selesai setuju dengan usulan saya.
“Baik, lima menit.”
Kami sedikit bernapas lega. Setelah lima menit kemudian terciptalah sebuah karya yang terinspirasi dari sangkar burung. Sebuah miniatur rumah gadang dengan atap dari injuk, deretan potongan kulit bambu menjadi dindingnya, sebuah tangga mini menjuntai menghiasi, kokoh karena disambung dengan kawat.
***
Jantung kami berdetak, pengumuman dibacakan senja itu. Pikiran kami kembali pada lemari tua di sebuah sekolah di pinggir sawah, akankah kami membawa pulang semua piala itu?
“Juara tiga lomba teknis kepramukaan… Cikarang Utara.”
Kami lemas, kami kira juri akan mengatakan Cibarusah.
“Juara dua… SMA 3 Tanggerang”
Akh… bertambah lemas sudah, agak mustahil nampaknya kalau juara satu.
“Juara satu… SMAN 1 Cibarusah.”
Kami berteriak sekeras mungkin. Selvy dan Lisna saling berpelukan. Sebuah mimpi anak-anak dari sekolahan tengah sawah.
Kami pun jadi juara tiga lomba baris-berbaris, juara satu Danton (Komandan Peleton) terbaik. Dan… Juara dua Miniatur rumah adat.
Pagi hari di sekolah, saat matahari membakar seisi lapangan upacara, ada kehampaan yang sangat. Piala-piala itu terpajang di depan kami, namun tetap ada yang kurang. Anggi dan Selvy. Selvy tak muncul saat kepala sekolah mengumumkan prestasi ini, ia sudah pergi ke Purwakrta pagi ini. Dan Anggi, masih dirawat karena tulang kakinya patah. Hanya kami berlima yang akhirnya mengangkat keempat piala itu menunjuk langit.
Selvy, Anggi, aku berharap kalian secepatnya kembali untuk melihat piala-piala kita terpajang di dalam lemari tua ini. Cepatlah kembali. Aku akan merindukan kalian. Sangat…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar