Cerpen Laskar Pemikat

Cerpen berdasarkan kisah nyata dengan sentuhan kegaringan

Friendsterku

Senin, 13 April 2009

Pengadilan Alam


PENGADILAN ALAM

(Wildan duasisi)

Malam ini aku lebih memilih duduk diluar kamar, menikmati sinar bulan dan melihat kemilau bintang-bintang yang berkedip manja. Aku semakin sadar bahwa bumi – bukan, maksudku tatasurya tempatku menapakan raga ini adalah bagian kecil dari luasnya jagat raya yang tak berbatas. Begitu kecilkah bumiku? Bila demikian, akan sangat mudah bumi ini hancur saat bertabrakan dengan benda langit lain yang lebih besar.

Ibarat benda langit, aku adalah Pluto – terkucilkan dari laskar Bimasakti. Bila kau berpikir tentang orang yang tak bisa bersosialisasi, orang yang pendiam, atau bila kau kenal dengan seseorang yang gemetar bila harus berbicara didepan umum, seperti itulah aku. Aku lebih senang menulis dari pada berorasi atau sekedar menjawab tegur sapa yang merupakan fungsi fatik dalam berbahasa. Satu-satunya temanku adalah hachi, kucing peliharaanku. Nama ’hachi’ kuambil dari nama tokoh kartun lebah yang hidup sebatang kara dan berkeliling dunia untuk mencari ibunya. Itulah refleksi kehidupanku. Tapi, untungnya aku masih punya orang tua. Bila benda mati bisa dimasukan dalam kategori sahabat, komputer pentium tiga adalah teman keduaku. Dialah media pencurahan kemelut yang mengepul dalam dada.

Kuusap dagu hachi yang setia menemaniku melihat keindahan bulan yang kokoh tergantung pada atap bumi. Rahangnya melurus, menikmati belaian lembut penuh kasih sayang, lantas mengesekan bulu kepalanya pada jemariku. Andai saja ia bisa berkata-kata, apa yang akan ia katakan untuk menjawab masalah kesendirianku ini? Matanya melirik tajam kearahku, namun tak sepatah kata pun kudengar darinya. Andai saja kau bisa menjelma menjadi manusia.

Tiba-tiba angin berhembus sangat kencang, menggoyangkan pepohonan, dan menerbangkan debu di sekelilingku. Aku hanya mampu terperanga ketika melihat ke arah sebuah pohon angsana yang mulai berbunga. Bunga pohon ini berwarna kuning dan baunya seperti jeruk. Ada yang ganjil, seluruh daunnya terlepas dari ranting dan cabangnya. Daun-daun itu kini terbang mendekat padaku. Aku dapat melihat mereka semakin jelas. Mereka hidup. Bila kuperhatikan, mereka terlihat seperti kupu-kupu dengan sayap berbentuk daun yang terbelah mejadi dua Separuh menjadi sayap bagian kiri, sisanya melekat pada punggung sebelah kanan. Sepasang antena menancap pada kepala bundar mereka. Mata mereka merah menyala, dan semuanya menatap kearahku.

Rasa takut mulai merambat ke seluruh organ tubuh. Aku segera berbalik badan dan bersiap menjauh untuk mengantisipasi masalah yang akan kuhadapi. Aku kini tak lagi bisa melangkah karena kakiku tak lagi menapak di bumi. Peri-peri daun itu mengangkat tubuhku. Sebagian mengangkat lenganku, ada pula yang memegangi kakiku dan sebagian besar menarik baju dan celanaku hingga posisiku melayang tertelungkup. Tanganku menepak makhluk aneh yang menarik bagian rambutku, tapi meleset. Mereka malah berpindah memegangi bahuku. Entah hendak kemana aku akan dibawa. Sia-sia aku berteriak, karena suaraku hilang entah mengapa. Pita suaraku tiba-tiba kaku, sehingga hanya angin yang keluar dari mulutku. Aku semakin merasa takut. Sebisa mungkin aku berontak, meronta-ronta, dan mengapai-gapai udara. Tetap saja percuma, ribuan peri daun itu tak mau melepasku.

Tubuhku terbang semakin tinggi. Dapat kurasakan angin yang semakin dingin dari atas sini. Lampu-lampu di pemukiman terlihat seperti bintang-bintang dilangit, begitu kecil. Awan-awan melintas tanpa permisi di samping kiri, kanan, dan diatas kepalaku. Sebetulnya aku ingin memegang awan-awan itu, aku hamya ingin tahu seperti apa rasanya menyentuh awan. Tapi apa daya, tanganku digerumuti daun-daun angsana sialan ini. Mereka bisa saja menjatuhkan aku dari ketinggian seperti itu bila mereka memang membenciku hingga terlepas semua tulang dari persendianku. Namun, aku merasa bahwa mereka akan membawaku ke sebuah tempat – entah dimana dan untuk apa. Kini aku coba tenang seraya menebak-nebak apa yang akan terjadi.

Untuk kedua kalinya dalam cerita ini aku terperanga. Sejalan kemudian aku berada diatas lautan lumpur panas. Makhluk-makhluk daun merendahkan jarak terbang mereka hingga nyaris membuat kakiku menyentuh permukaannya. Untung kakiku kuangkat secara sepontan. Dapat kulihat beberapa atap rumah yang masih menyembul diatas permukaan lautan lumpur yang sangat luas itu.

Aku berada tepat di tengah hamparan lumpur panas itu. Sekeliling yang kulihat hanyalah lumpur dan lumpur. Asap mengepul dari berbagi penjuru, menandakan kue lumpur raksasa itu masih panas. Mungkinkah peri-peri daun itu ingin menguburku hidup-hidup di tempat ini? Aku kembali berontak. Nampaknya mereka mengerti bahwa aku sudah tak suka berada lama-lama disini, maka sedetik kemudian mereka kembali melanjutkan perjalanan.

Dari atas, kulihat pula pasprototo sungai yang tercemari. Bangkai-bangkai ikan mengambang, sementara ratusan lalat menari hilir mudik merayapi makhluk malang yang keracunan limbah pabrik itu. Tidak hanya itu, sampah-sampah dari kebutuhan manusia turut menyemarakan isi sungai. Tidak hanya berwarna coklat tanah, sungai itu pun berbau busuk yang menusuk hidung. Sialnya aku tak diijinkan menutup hidung. Lebih parahnya lagi, mereka mendekatkan mukaku pada permukaan air sungai itu. Mungkin agar aku bisa lebih puas melihatnya.

Jauh sudah mereka membawaku. Kali ini aku merasa sedikit senang diantara ketakutanku yang teramat sangat. Hatiku sedikit terhibur oleh pemandangan rimbunnya pepohonan yang terlihat seperti karpet hijau yang terhampar. Namun, tak lama aku merasakan kedamaian tersebut. Di tengah hutan yang indah itu, tanah gundul nampak jelas sekali terlihat. Bahkan lebih dari setengah bagian hutan itu tak lagi tertancap pohon-pohon yang dahulu tinggi menjulang. Semakin jauh mereka membawa tubuhku, semakin tahu pula aku maksud mereka membawaku. Mereka hendak menunjukan hasil tingkah polah manusia yang merusak alam dan seharusnya menjaga sebagai pemimpin di muka bumi.

Peri-peri itu menikuk tajam ke arah sebuah lubang yang menganga lebar di permukaan tanah. Letaknya berada tengah hutan. Lubang itu terasa seperti terowongan yang dibuat berkelok-kelok. Mungkin lebih mirip rel jet coaster dalam hal kelokannya. Peri-peri itu terbang membawaku dengan kecepatan kilat. Aku berteriak walaupun tak bersuara karena pita suaraku masih kaku, saat beberapa kali tubuhku nyaris menabrak dinding-dinding terowongan itu. Untunglah mereka adalah penerbang yang ahli.

Perjalanan menelusuri terowongan pun berakhir. Aku sampai di sebuah ruangan yang berada di ujung liang berkelok tersebut. Akar-akar tunggang dari pohon diatas permukaan tanah menjadi ornamen hiasan dinding di segala penjuru ruangan. Bila kau pernah menyaksikan film Jumanji saat dinding rumah pemeran utamanya (Alan) dipenuhi tanaman merambat, seperti itulah gambaran tempat itu. Namun, jarak antara atap dan lantainya amatlah jauh, kira-kira 30 meter. Sedangakan luas ruangannya sekitar 45 meter dan semua ber-backgruond tanah coklat. Bila aku menengadah, aku dapat melihat beberapa fosil hewan dari berbagai jaman sebagai hiasan dinding. Obor-obor kecil ditancapkan dibeberapa sudut. Jamur-jamur raksasa tumbuh rapi seperti barisan anggota pramuka, sementara beberapa makhluk hidup yang ’benar-benar hidup’ duduk diatasnya. Puluhan populasi dari beberapa ekosistem berkumpul dalam ruangan itu. Aku hanya ngeh dengan beberapa spesies yang sempat kulihat. Sepasang jalak yang ramai berkicau seraya kaki kuningnya menunjuk sinis kearahku, beberapa perdu, dan sekelompok jakal (anjing hutan dari Asia dan Afrika) dengan bulu kuningnya yang khas, ada pula keluarga jaguar – turis asing dari amerika selatan yang menyeringai menunjukan besarnya taring mereka. Aku baru menyadari bahwa aku berada disebuah ruang persidangan setelah peri-peri daun itu menurunkanku di atas sebuah kursi menghadap pada seekor burung hantu yang duduk sambil memegang sebuah palu.

Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa semua hewan itu bisa berbahasa manusia? Entahlah. Yang jelas, aku ingin segera pulang.

Seekor tikus membuka percakapan sebagai jaksa penuntut.

”Tuan hakim,” kepada burung hantu yang duduk didampingi dua ekor orangutan sebagai jagapati (pengawal).

”Para manusia telah melakukan kerusakan dimuka bumi ini. Hal ini tersebar diseluruh dunia. Mulai dari penggundulan hutan, pencemaran, hingga pembunuhan hewan-hewan langka demi keuntungan semata. Bisa Tuan Hakim saksikan sendiri, bagaimana para manusia mengeruk tanah sedalam-dalamnya untuk mendapatkan gas alam. Ijinkan saya memanggil salah satu saksi, Yang Mulia.”

“Silakan,” jawab burung hantu penuh wibawa.

Tanah serentak bergetar. Tepat didepanku sebuah lubang terbentuk pada permukaan tanah. Lubang itu menyerupai mulut manusia. Dari sanalah keluar sebuah kesaksian. Terdengar suara bergumam, suara itu terdengar sangat berat.

“Para manusia melubangi tubuhku. Beberapa benda logam serentak mengeruk semakin dalam. Memang, aku tak merasakan sakit karena aku memang tak punya sistem syaraf. Tapi, kerakusan mereka membuat lubang pada tubuhku semakin dalam. Aku muak pada sikap mereka, maka dari itulah aku tenggelamkan rumah-rumah manusia dengan lumpur panas. Selain itu Yang Mulia, ada pula beberapa manusia yang dengan serakahnya memanfaatkan air tanah hingga keroposlah lapisanku. Akibat kesalahan mereka itu, permukaan tanah merosot dan habislah air dalam tubuhku.”

”Apa pembelaanmu, Manusia?” tanya sang Hakim seraya menatap padaku.

Sudahkah aku bercerita bahwa aku ini tak mampu berbicara didepan umum? Jelas aku tak dapat membela diri. Aku hanya tertunduk ditemani keringat yang mengucur deras pada wajahku.

”Mengapa kau berkeringat? Panaskah disini? Di bumi ini? Tentu saja begitu. Manusia dengan bangga menggunakan pengatur suhu ruangan dan kendaraan bermotor yang mengakibatkan pemanasan global. Sadarkah engkau, Manusia?” sang Jaksa memojokanku.

“Aku... aku tahu,” jawabku terbata.

Aku terlalu payah untuk berkata-kata. Andai aku membawa selembar kertas dan alat tulis, aku dengan senang hati akan membuat surat pembelaan.

Apa lagi yang terjadi? Aku mendengar suara langkah kaki yang berdegum kencang. Raksasa mungkin. Kulihat kesekeliling forum persidangan yang duduk dibelakangku, tak nampak adanya tanda-tanda sumber suara. Suara itu semakin kencang hingga tanah turut bergetar. Sumber suara itu semakin mendekat. Sebuah batang pohon yang sangat besar terlihat masuk dari lubang pintu ruangan dengan cara merunduk. Diameter perdu itu sekitar dua meter, sedangkan tingginya mencapai 25 meter. Kalau saja pohon itu senewen dan ingin menimpaku, jadilah aku keripik manusia.

”Yang Mulia, aku adalah pohon tertua dihutan ini,” ujarnya sambil sedikit melakukan pantomimik dengan ranting yang juga tangannya.

”Lebih dari setengah hutan di negara kita telah habis ditebangi secara ilegal. Padahal kami, para pohon, selalu berusaha melindungi mereka dari banjir yang mungkin melanda. Sebisa mungkin kami serap air hujan kedalam tanah dengan bantuan akar-akar kami agar tak menggenangi kota. Tapi apa balasan mereka?”

“Apa pembelaanmu?” Hakim kembali bertanya padaku.

Apa tidak ada pertanyaan lain? Aku sangat anti berargumentasi. Mungkin bila ia bertanya ’Apa yang dimaksud fosforilase?’ akan kujawab, walau sedikit gerogi. Fosforilase adalah nama enzim yang terdapat dalam otot dan hati yang mengkatalisis pengubahan glikogen menjadi glukose fosfat. Atau, aku lebih suka semisal soal ujian kimia kemarin ’apa yang dimaksud dengan forgen?’. Forgen adalah racun tanpa warna dengan nama kimia ’karbonil klorida’. Mengapa harus pertanyaan seperti itu?

Keringatku semakin deras mengucur. Sejenak persidangan hening karena aku tak menjawab apapun, sementara sang Tikus menatapku tajam sambil berjalan bolak-balik didepanku dengan posisi tangannya bergandeng dibelakang badan. Beberapa hewan dan tumbuhan dalam forum persidangan mulai berbisik-bisik entah mengenai apa.

Firasatku mengatakan bahwa masalahku ini akan bertambah rumit saat seekor kera berdiri didepan persidangan untuk menyampaikan keluhan. Pasti mengenai hutan gundul yang merupakan tempat tinggal mereka dan dirusak oleh manusia. Banyak sekali dosa manusia pada bumi! Lagi-lagi, setelah itu pasti burung hantu tambun itu akan menanyakan hal yang sama seperti sebelumnya.

”Apa pembelaanmu?”

Aku merasakan ada sesuatu diatas kepalaku. Rupanya seekor katak yang juga akan menambah masalahku. Sudah bisa kutebak, pasti masalah sungai.

”Aku melaihatnya sendiri, Yang Mulia. Mereka membuang benda-benda menjijikan ke dalam sungai.”

Setelah para hewan, tumbuhan, bahkan tanah bersaksi, Hakim mulai mengangkat palu. Kaget bukan main aku, persidangan ini bukan hal main-main. Burung hantu itu menjatuhkan hukuman mati padaku. Aku rasa manusia pantas mendapatkan hukuman mati atas kesalahan itu. Tapi, kenapa harus aku? Bahkan aku tak pernah memegang kapak untuk menebang sebuah pohon.

Seekor ular piton sepanjang 15 meter didatangkan dalam sebuah kandang. Perlahan gembok dalam sangkar itu dilepaskan. Aku pun perlahan berjalan mundur. Semakin lama, langkahku semakin kencang. Tak peduli apapun, aku terus berlari. Bersembunyi dibalik sebuah peti kayu. Aku bisa merasakan tetesan lendir yang jatuh ke atas kepalaku. Kucoba mencari tempat bersembunyi lainnya. Dapat! Aku masuk lubang yang cukup besar. Ujung lain pada lubang itu membawaku ke sebuah ruangan. Air menggenangi seluruh alas ruangan itu hingga mencapai mata kaki. Aku kembali berlari, namun ular raksasa itu jauh lebih cepat. Tak lama kemudian ular itu berhasil membelitku. Sesak napas mulai kurasakan. Mata ular itu kini sangat dekat dengan mataku. Kami saling berhadapan. Belitannya semakin kencang. Sekuat mungkin aku meregangkan tanganku agar aku dapat bernapas. Sebelum menelanku, ia terlebih dahulu menjilat pipiku. Lalu....

Aku terbangun karena rupanya hachi menjilati pipiku saat tertidur. Untunglah hanya mimpi. Tanganku masih memegang sebuah buku. Pasti karena buku ’Kerusakan Alam’ yang kubaca sebelum tidur ini. Sebuah pelajaran lewat mimpi.

Sebelum lupa, segera kutulis sebuah kerangka karangan untuk kujadikan cerita pendek. Sebuah mimpi juga ternyata sumber inspirasi. Tak semudah yang kuduga, kesalahan selalu ada. Kurobek selembar kertas karena kurasa ada beberapa yang salah. Kertas itu kulempar ke tempat sampah, dan ternyata meleset. Segera kubuat kerangka baru. Namun, mataku lekas tertuju pada kertas yang kubuang tadi. Ia bergerak-gerak. Lalu, terdengarlah suara.

”Hey, buanglah aku pada tempatnya!”

Minggu, 12 April 2009

laskar pemikat edisi 5

LASKAR PEMIKAT DALAM BUKU HARIAN WILDAN
edisi 5 (Wildan Duasisi)

Dear diary
Gua akan meninggalkan base camp. Gua gak akan kos di sana lagi. Kini entah dimana laskar pemikat bakal nentuin base camp mereka. (Sedih, ‘kan?). Apakah kos agil yang tidak kalah ancurnya dengan kos gua. Kos agil ini boleh dibilang sarang jamur. Semua jamur ada, mulai dari jamur teki, jamur teka, sampai jamur silang (teka teki silang). Kadang para pemikat membayangkan suatu hari Agil kuliah dengan sebuah jamur besar sebesar terpedo sapi tumbuh di jidat. Menggayot gundal-gandul seperti bandul jam peninggalan jaman nenek gua yang hobi ngemut sirih.

Wuih, kamar gua gak kalah ancur. Seonggok buku tumpang tindih dilantai. Mulai dari buku fonologi, linguistik, kamus bahasa Indonesia-Jin, dan buku cara menyembuhkan kutil tanpa operasi. Semua benda di kamar gua termasuk benda yang memiliki nilai sosialis tinggi. mereka akrab satu sama lain. Buktinya, deterjen dan toples keripik singkong cap batu koral berdiri berdempetan, gula dengan obat nyamuk cair merek gorila juga ditaruh di wadah yang sama sehingga gak aneh kalo temen-temen gua makan keripik ada rasa deterjennya, atau pas bikin kopi pake gula, mereka sedikit kejang-kejang karena pasalnya itu gula kecampur sama obat nyamuk. (Sori pren!)

Balik lagi ke masalah pindah kos. Gua pindah bukan karena gak betah atau di ganggu Jin. Jin sih liat muka gua aja langsung introspeksi diri. Alhamdulillah-nya gua dikasih tinggal di staff room tempat kerja gua (kerja sambilan. sambil nyari duit. Yaiyalah...). Gratis, ber-AC (Angin Cepoy-cepoy kipas angin), dan di kasih fasilitas komputer. Nah, sekarang dimana laskar pemikat bakal mencari tempat berkumpul dan beristirahat menunggu jam kosong?
Di antara rasa bingung itu, gua dapet sms:
Kepada Yth (Yang tidak handsome)
Ketua laskar pemburu sertifikat.
Hari senin, tanggal 13 April 2009 akan diadakan lomba fotografi. Semua peserta baik yang menang ataupun tidak, akan mendapatkan sertifikat. Ini akan menjadi kesempatan emas bagi para anggota laskar pemikat karena akhir-akhir ini sudah jarang kegiatan bersertifikat.
Salam agen IS (info Sertifikat): Fizian Yahya Mahkotoy Tineng Saduyut.

Hatiku gembira, riang tak terkira. Langsung aja gua buka buku skejul gua yang udah numpuk sama beberapa planing nyuci baju, beli sabun, dan jemur kolor yang ampe sekarang belom kesampean.

Sedih kalau gua perhatiin kamar gua ini. Banyak kejadian lucu yang pernah terekam dalam otak jenius gua di tempat ini.mulai dari si Rohmat yang sempet ngemut-ngemut jempol kaki gua pas lagi ketiduran di kamar gua sekaligus basecamp laskar pemikat ini. Pantes aja dalam mimpi, gua ngerasa gimana gitu (geli-geli enak). Kalo ngomong tentang Rohmat, agak susah mendeskripsikannya. Mukanya polos gila (polos tapi gila.hihihi). Persis tokoh-tokoh orang jawa ndeso yang sering nongol di film. Pokoknya enak banget buat ditindas. Kalo ngobrol gua suka pura-pura batuk, padahal sumpeh mati gua nahan ketawa ngeliat mukanya. Aya-aya hungkul.

Kalo gua sendiri terkenal yang palig saru. Gak penting tentang gua. Anggota LP yang paling unik itu Wahyu. Dia ini terkenal paling alim. Gak heran kalo jidatnya item. Kata orang, kalo jidat item itu tandanya sering solat atau solat malam. Wahyu laen, jidat item itu adalah bekas kejedot segala macam benda tegar, mulai dari beton, pagar, pohon, dll. Karena kalo liat cewek pasti menundukan pandangan. Saking nunduknya, dia gak liat kalau di depannya ada beton segede alaihum gambreng. Jadi dah benjol. Nah, bekas benjolnya itu jadi item. Gitu ceritanya (gak semua yang lo dengar itu bener).

Tomo dan Fizian Yahya. Mereka itu sepasang yang tak terpisahkan. Tomo anggota LP asal jawa yang ngerasa dirinya orang Batak. Kalo dia ngomong, bikin orang Batak bingung, orang Jawa pun gak paham. Bahasanya Jawa tapi logatnya Batak. Tampangnya preman, tapi hatinya lembut, bo. Preman mana yang nonton film korea the moment to remember pake acara nangis tersedu sedan. Cuma Tomo yang bisa.

Waktu itu kita pada bolos kuliah linguisktik cuma buat nonton itu film. Gak dinyana, ada suara nyegik kaya domba kena pilek akut stadium 3,8. Ternyata eh ternyata si Tomo lagi ngingsrut nyedot ingus yang mengalir penuh penghayatan (pake slow motion pula). Subhanallah...
Ada juga Iyan, doyan banget nyanyi. Tapi suaranya emang gak jelek. Ya... lebih dikit dari gua. Kalo gua nyanyi segalanya bisa terjadi. Tarzan aja kalo denger suara gua pasti langsung mutusin buat ikut kursus teriak lagi. Saking enaknya suara emas gua (campur dikit ama plastik), Nyunyu, hamster peliharaan Ibu Kos ampe tidur gak bangun-bangun (bahasa gaulnya: wafat).
Waktu hari H, kita kompak ikutan lomba fotografi. Temanya gampang aja, tentang pemandangan. Sial, gua bangun kesiangan. Itupun kalo gak ketiban lemari gua yang statusnya patah berat, mungkin gua gak bakal bangun ampe fir'aun bisa bikin blog. Kemaren kita udah mutusin buat ngambil objek di sekitar Yogya.

“Kita ambil foto remaja yang lagi mandi, gimana?” usul gua.
“Dasar, saru. Belom sembuh juga.” protes agil.
Rohmat keliatan lagi mikir. Sebenernya, mukanya lagi mikir, lagi sedih, ataupun lagi ngeden pas beol, gak ada bedanya. Konsisten banget deh tuh muka.

Akhirnya, berdasarkan pemikiran panjang dengan teori Aristoteles yang dikuatkan oleh pernyataan dokter spesialis Buang air kecil tentang seni, kita akan mengambil pemandangan di Kali Urang. Perjalanan teramat panjang, mendaki gunung lewati lembah, mencari teman bertualang (Ninja Hatori punya). Kebetulan hari ini terik banget. Udaranya emang sejuk pas pagi hari. Tapi boleh di adu panasnya tempat ini kalo siang ama padang gurun Sahara. Wuihh… orang pakistan aja bisa item kalo lama berjemur disini (majas lebay). Saking gerahnya, tenggorokan kering, bibir pecah-pecah, dan susah buang air besar.

“Tom, istirahat dulu dong! Dengkul gua loncer nih!” pinta Iyan sambil megang kedua lututnya.
Lama juga jalan, gua rasa varises gua bisa nonjol-nonjol segede selang PAM. Singkat cerita kita selesai jeprat-jepret sana-sini. Mulai dari ngejepret pemandangan bunga mawar, melati semuanya indah.
Waktu pulang, gua ceritain ma temen-temen gua kalo gua mau pindah kos. Kontan muka mereka jadi nampak serius (kecuali Rohmat yang mukanya konsisten).

Lebih baik disini, rumah kita sendiri...”Si Iyan sekonyong-koyong nyanyi.
AaaaAaaa..aaaa.aaaaaa” Agil mem-backing vokal jadi kaya cengkok lagu Cindai-nya Siti Nurhaliza.
Auw...Auw…Auww…” gua tau sebenernya si Rohmat mau ngikutin kaya Agil, yang ada kaya suara bagong kegencet pohon.
“Ya, kawan semoga lo betah disana, mungkin kita akan mencari tempat berkumpul lainnya. Lo harus menjaga sikap karena lo numpang.”

Kadang nasehat Rohmat ada positifnya juga. Jarang banget gua denger dia ngomong. Seringan nyanyi ala bagong kegencet pohon kaya tadi. Wateper, yang penting kita masih bisa ngumpul. Gak mau kalah, Agil pun memberikan nasehat.
“Jagalah kebersihan, kebersihan sebagian dari iman.”
Gak mau ada yang kurang, dia bawa-bawa semboyan andalan guru SD ples sedikit rekontruksi kata. Buanglah sampah pada temannya.
Laen lagi ama Wahyu yang otaknya udah penuh sama hurup arab.
“Semoga lo diterima di sisi-Nya.” (Bujeng…)
Mana pake bilang, inalillahi (sambil geleng-geleng. gayanya kaya UJ pokoknya. Umar Jongos.) Nyumpahin gua mati tuh orang.
Besoknya pengumuman lomba fotografi. Gak dinyana ternyata……………. gak ada yang dapet juara. Tapi yang penting udah berusaha (so bijak. Padahal ngedumel). Dan gak kalah penting, SERTIFIKAT.

Laskar Pemikat edisi ke-2

LASKAR PEMIKAT IKUT PERANG KEMERDEKAAN

(Wildan Duasisi)

edisi ke-2

“Mana barangnya?” lirih Wildan.

Rohmat dengan sembunyi-sembunyi mengeluarkan semacam tablet berwarna putih dari dalam celananya.

Ya ampun Rohmat, lo taro di dalam sempak?” Agil mengomel.

Udah lah, yang penting kan manjur,” Rohmat membela diri.

”Air... air...!” seru Tomo.

”Ayo semua minum tabletnya!” Wildan mulai memberi lampu hijau.

Hari ini adalah kunjungan seminar mengenai kemerdekaan dan kepahlawanan di gedung sejarah. Mereka sudah memprediksi akan merasa jenuh di dalam nanti, maka dari itu mereka kompak meminum obat tidur. Kejadian itu hanya diketahui oleh garda inti laskar pemikat.

Tuh kan seminarnya bikin bete. Yuk ah, Yu, kita tidur!” ucap tomo bisik-bisik kepada Wahyu..

Wahyu, woy!” ulang Tomo.

”Yaelah, udah tidur dari tadi,” gumam Tomo.

Beberapa menit kemudian, mereka semua sudah terbuai dalam alunan mimpi. Kelimanya bertemu di dalam mimpi. Tidak hanya di alam nyata, kekompakan mereka terbukti di dalam mimpi. Mereka semua bermimpi menjadi pahlawan kemerdekaan di jaman penjajahan jepang.

”Jendral Wildan, saya mau lapor!” ucap Tomo.

Ada ranjau di arah jam 9, tapi gak sengaja keinjek oleh saya, eh meledak deh.” lanjut Tomo.

Lha, kamu itu gimana sih, itu kan ranjau kita. Harusnya kamu itu nginjek ranjau musuh!” tukas Wildan.

”Wahyu!” seru Jendral Wildan.

Wahyu pun segera menghampiri Jendral.

”Granat!” pinta Jendral Wildan tanpa menoleh ke arah Wahyu.

Setelah diberikan, granat-granat yang diberikan Wahyu langsung dilemparkan dengan tepat ke arah tentara Jepang.

”Granat!” pinta Jendral Wildan lagi.

Tiung... granat pun dilemparkan lagi.

”Lha, kok granatnya mirip jagung bakar?” tanya Jendral Wildan.

Iya Jendral. Jagung bakar yang saya pegang ini juga mirip granat,” jawab Wahyu.

Ya ampun...! Itu granatnya. Cepet lempar sebelum meledak!” ucap Jendral Wildan panik.

Wahyu yang kebingungan spontan berlari mondar-mandir sambil terus memegang granatnya.

”Granat... granat... granat... subhanallah... ada granat... masya Allah...,” Wahyu komat-kamit.

Woy, dilempar!” seru Jendral Wildan.

Tiung... granatnya dilempar kesembarang arah.

Blegur...

”Jendral kenapa jadi gosong?” tanya Wahyu sok polos.

***

Agil, kamu maju ke shap depan!” ucap Sang Jendral.

”Baik Jendral.”

Segera agil mengambil posisi terdepan. Namun Agil lantas kembali lagi ke belakang.

Ayo serang, Gil!” perintah Jendral sekali lagi sambil menujuk ke arah tentara jepang.

Tomo temenin dong! Gua malu nyerang sendirian,” ucap Agil sambil melirik ke arah Tomo.

Ayo, tapi jangan lama-lama ya! Gua mau potong kuku.”

Tiba-tiba tembakan beruntun menghujani para tentara laskar pemikat.

”Sembunyi...!” seru sang Jendral.

Semua tentara bersembunyi di belakang pepohonan.

”Agil, Rohmat, Tomo, Wahyu, kenapa kalian sembunyi sepohon sama saya? Gak cukup ini, masa sepohon rame-rame. Stres dah gua,” ucap Jendral Wildan meringis.

”Berpencar!” lanjut Jendral.

”Kamu siapa?” tanya Jendral Wildan pada seorang Wanita yang sedang bersembunyi disebelahnya.

Saya Raden Ajeng Kartini, Jendral.”

R. A. Karini itu harusnya gak ikut perang. Kamu itu pejuang emansipasi wanita,” ucap Jendral sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Ya udah, ayo Fatmawati, Cut nyak dien, kita pulang aja! Mending kita ngerujak lagi” gumam wanita itu lantas menarik tangan teman-teman wanita disampingnya.

Lama sekali tembakan beruntun itu dihujankan kepada para pejuang laskar pemikat. Sudah lebih dari setengah jam mereka bersembunyi.

”Lho, kok kamu balik lagi kesini, Gil?” tanya Jendral heran.

Anu Jendral, tadi saya sembunyi di belakang karung semen, eh karungnya diambil sama yang punya, buat ngebangun rumah. Trus saya sembunyi di tempat lain, ternyata eh ternyata itu tempat persembunyian musuh kita. Terus, saya di usir.”

”Gil, kamu alihkan perhatian tentara jepang!”

”Baik.”

Sejurus kemudian Agil mulai berlari cepat ke tengah-tengah medan pertempuran,

”Perhatian... perhatian...,” ucap Agil kepada tentara Jepang.

Tolong dong perhatiannya dialihkan ke gua semua. Gua disuruh mengalihkan perhatian lo semua,” lanjut Agil.

Dor... Agil pun tewas tertembak.

“Tidak!!!!” teriak seluruh tentara laskar pemikat.

”Iya!!!” timpal tentara jepang.

Agil!!!” Rohmat berlari menghampiri mayat Agil.

“Kenapa kamu mati, Gil?”

Rohmat lantas menggeledah seragam prajurit Agil.

Nah ini dia. Untung ketemu kunci motor gua. Laen kali kalau mau mati, pulangin dulu kunci motor gua!” Rohmat menyumpah.

Dor... Rohmat pun tertembak.

Kini, tersisa 3 tentara laskar pemikat dan beberapa tentara wanita nasional. Mereka tetap yakin bisa mengalahkan tentara Jepang. Maka dari itu, Jendral Wildan membuat strategi penyerangan.

Para tentara wanita posisikan ke arah tenggara. Sebagian lakukan penyerangan di arah timur laut untuk memecah perhatian. Tomo dan Wahyu tetap pada posisi semula,” Jendral Wildan memberikan intruksi.

Ria, Indi, Anis, kalian lakukan penyerangan beruntun dari timur laut. Widia, Ida, dan Atik, lakukan penyerangan setelah pasukan timur laut menyerang.”

”Siap, Jendral!” ucap mereka serentak.

Tak lama kemudian, para pasukan telah menempati parit masing-masing.

”Serang...!!!” teriak sang Jendral.

Tak ada respon.

Serang...!!!” teriak Jendral sekali lagi.

Tetap tak ada respon.

Jendral pun menghampiri tentara-tentara wanita itu. Ternyata Jendral mendapati mereka sedang ngegosip.

”Iya tuh beneran. Bunga Citra Sentosa itu punya tompel gede banget segede alaihum gambreng di punggungnya,” Ria berkomentar.

”Iya bener. Eh tau ga, kan Agnes Harmonika itu kan suka sama Budi Anduk. Heeh bener,” disahuti oleh Indi.

Masa sih. Duh kok gitu ya?” ucap Anis menanggapi.

Heeh. Beneran, Jeng.” Ria menimpali.

“Ya ampun, malah ngegosip!” Jendral nampak putus asa.

Tiba-tiba,

Jegur..., sebuah ledakan terjadi di dekat mereka.

***

Seseorang telah membanting daun pintu ruang seminar dan menguncinya hingga terdengar seperti bunyi ledakan dalam mimpi. Akhirnya, mereka pun bangun setelah mendengar bunyi itu.

Wah,seminar harusnya udahan dari tadi sore. Sekarang udah malem. Wah, kita tidurnya kebablasan. Mana kita kekunci,” Agil menyumpah.

NANTIKAN KEGARINGAN LAINNYA DI EPISODE SELANJUTNYA

Sabtu, 11 April 2009

AH.....

AH...
(Wildan Duasisi)

Janggut Malaikat maut tergerai di tanah kami
Gigi gingsul mereka menancap di pundak di urat dan nadi yang kemarin masih berdenyut
Memaksa tanpa pilihan – menelan lumpur-lumpur dari deras air liur Situ Gintung

Kami punya kafan
Tapi tak cukup banyak menutupi mayat-mayat malu tak berbusana
Lahan tak luas menampung jasad mati anak kami
Nyawa seharga keping batu yang pecah musim ini

Aku bertanya entah pada siapa – dimana anak langit yang menjaga sekotak negeri?
Kemana seharusnya air kencing bumi itu mengalira?
Tak seharusnya air bah bangunkan kami malam itu

Harus pada siapa kami meninju dada?
Apakah langit yang cengeng?
Atau bumi yang tolol?
Atau tanggul yang rapuh?
Atau perut buncit mayat ini?

Begitu cepat ijroil bermain tangan
Selepas nyawa, Ah…

Laskar Pemikat Edisi 1

LASKAR PEMIKAT DAN HANTU SEMINAR

(Wildan Mishbahuddin)

edisi pertama


“Ayo sodok yang keras,” ucap agil tegang.

“Agak kanan sedikit nyodoknya, pasti masuk,” Wildan berkomentar.

”Ah, Rohmat itu gak bisa ngalahin sodokan gua!” ucap Tomo agak menyombong.

”Hah... belom tau dia sodokan gua!” Romat menimpali.

“Cepet dong, Mat, disodok,” kali ini Wahyu angkat bicara.

Mata mereka semua tertuju pada layar monitor komputer. Rohmat dan Tomo sedang asyik bermain biliyar digital di komputer rupanya. Sekumpulan mahasiswa yang tergabung dalam Laskar Pemikat alias Laskar Pemburu Sertifikat ini sering sekali berkumpul di basecamp untuk sekedar menunggu jam mata kuliah kosong. Blok B 19 C itulah basecamp mereka. Walaupun muka Romat terlihat nelangsa, Agil agak pikun, apalagi Wildan yang cenderung saru, Tomo botak yang bertampang preman tapi ternyata sangat soft dalam hal musik (hatinya pink gitu lho), dan satu lagi, Wahyu yang sangat alim dan biasa mandi dzunub bila disentuh wanita. Namun, mereka semua memiliki loyalitas kepada sesama kawan, memiliki kedisiplinan yang tinggi dan rajin menabung.

Crot...teretet...gabrut, HP Wildan berbunyi.

“Cuy, ada sms nih dari agen IS (Info seminar),” ucap Wildan setengah berteriak.

Kepada garda inti laskar pemikat, ada seminar lho tanggal 11 Januari di gedung Cine Club tentang aliran linguistik tagmemik. Sebarkan ke semua garda laskar, coz ada sertifikat nasionalnya. Pendaftaran 100.000, bisa dicicil. Salam sayang: Tika

Tomo: ”Wah, asyik nih, 5 hari lagi ada semenong,”

Rohmat: “Asyik pala lo gundul.”

Tomo: “Emang.” (sambil mengelus kepala botaknya)

”Kas laskar pemikat tinggal 1.100.000 lagi sedangkan anggota laskar pemikat ada 17 orang, lo mau nombokin?” lanjut Rohmat yang menjabat menjadi bendahara inti.

”Kan bisa di cicil,” Tomo sedikit berargumen.

”Gimana nih, Ketua?” tanya Wahyu pada Wildan.

”Besok kita rapat, ya! Gua gak mau otopet,” jawab Wildan.

”Otoriter maksud lo?” Agil coba membenarkan.

”Eit, gua ketua! Gua bilang otopet ya otopet!”

”Katanya gak mau otoriter, tapi naudzubilah keras kepalanya,” gumam Agil lirih.

Setelah melakukan sidang pleno selama tiga hari dengan mengundang semua anggota laskar pemikat, serta beberapa aparat keamanan dan ketua RT, akhirnya diputuskan bahwa mereka akan membayar setengah harga walau harus duduk dilantai. Sedih, ya? Mempertaruhkan harga diri bagi mereka bukan masalah, asalkan dapat sertifikat.

***

”Tom, pantat gua keram.”

”Sabar, Mat! Gua aja yang pantatnya disemutin diem aja. Seminarnya Cuma 4 jam kok.”

Btw, pembicaranya siapa ya? Kok kita mau aja ya duduk di bawah, belakang lagi. Pemandangannya cuma kaki-kaki peserta seminar lain.” protes Wahyu.

”Cuy, ada yang mau ikut ke toilet gak?” tanya Widan tiba-tiba.

”Gua,” ucap Wahyu, Rohmat, Agil, dan tomo serentak.

”Bete..bete..ah disini. Mending ke toilet,” ucap Rohmat.

Merekapun bersama-sama pergi ke toilet. Lima orang dalam satu toilet kecil. Kaya apa kali. Bisa kalian bayangkan? (Mending jangan dibayangin. Amit-amit).

”Eit, lo mau ngapain?” tukas Wahyu.

”Ayolah, barengan. Sekamar mandi berdua aja. Gak apa-apa deh lo yang nungging,” jawab Wildan yang hendak menyerobot masuk ke kamar mandi bersama Wahyu.

”Nungging? Maksud lo?”

Tiba-tiba Rohmat merasa bulu keteknya merinding. Suasana terasa lain dari biasanya. Ternyata, hal itu dirasakan oleh kelima orang aneh itu. Firasat mereka tidak enak. Clak...clak...

Terdengarlah suara gemericik air dari sebuah keran dari kamar mandi yang pintunya terkunci. Perlahan mereka mendekati dengan mengendap-endap seperti James Bound yang hendak menyadap pembicaraan Madona.

”Apaan tuh?” teriak Wildan sok Jaja Miharja sambil menunjuk ke belakang mereka.

Terlihat seorang lelaki berambut gondrong berdiri dipojokan ruangan sambil terus tertunduk. Wajahnya pucat dan kakinya tidak menapak ditanah. Terlihat matanya yang serba putih saat menoleh kearah mereka dengan sedikit mengeram.

”Argggg,” Tomo menjerit dengan nada tinggi sambil memeluk Wahyu.

”Masya Allah, Subhnallah, Walhamdulillah, Allahu Akbar, Amin..” Wahyu malah komat-kamit tidak karuan.

”Kamu siapa? Dengan siapa? Semalam berbuat apa?” Agil yang ketakutan spontan bernyanyi.

Rohmat hendak berlari, namun saking tegangnya, tanpa sadar ia malah melakukan gerakan senam poco-poco.

Terdengarlah suara dari hantu itu.

”Tenang bung, gua adalah hantu seminar yang datang setiap ada seminar. Nama gua Fizian Yahya. Dulu saya adalah mahasiswa yang sangat senang mengikuti seminar. Hingga akhirnya gua mati gara-gara keselek tulang ayam. Dont try this at home. Sekarang gua gak bermaksud menakuti kalian.”

”Terus lo mau ngapain?” Agil memotong pembicaraan hantu itu.

”Oh iya, gua mau ngapain ya? Nanti deh gua balik lagi kalau udah inget. Dadah, asalamuaikum,” ucap setan itu sebelum kemudian pergi.

***

Setelah mereka keluar dari toilet, sebelum duduk, mereka kembali melihat hantu yang sama.

”Itukan hantu tadi,” Wildan menunjuk ke belakang pembicara seminar.

Hantu itu melambai-lambaikan tangan pada mereka.

”Ya ampun, hantu narsis!” ucap Wahyu sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Dalam sekejap mata, hantu itu menghilang dari pandangan kelima anggota laskar pemikat.

Tiba-tiba Tomo merasakan ada yang menepak pundaknya. Serentak mereka menoleh ke belakang. Hantu Fizian rupanya. Sejak tadi tak pernah terlihat senyum dari hantu Fizian. Mukanya sebenarnya menyeramkan, namun terlihat bodoh.

”Gua mau daftar jadi anggota laskar pemikat,” ucap hantu itu.

”Oh.... Biaya pendaftrannya 20.000.” ucap Wildan menanggapi.

”Gua gak punya duit kecil.”

”Duit gede juga gak apa-apa. Ada kembaliannya.”

“Duit gede juga gak punya.”

”Itu sih namanya kagak punya duit.”

”Ya udah, kagak jadi deh daftarnya.” ucap hantu itu setengah kesal dan kemudian pergi.

***

Tak dinyana keberdaan Laskar Pemikat telah populer di dunia ghaib. Laskar yang baru disyahkan satu tahun lalu oleh lima orang pemuda peduli masa depan yang kini menjadi garda inti laskar pemikat ini telah mengikuti berbagai seminar di berbagai kota. Selain orientasi pada seminar, para anggota laskar pemikat pun kerap direkomendasikan mengikuti lomba-lomba yang memiliki fasilitas sertifikat (so pasti).

Sesampainya di basecamp, sepulang seminar.

”Hari ini cape bener ya? Mana ketemu hantu aneh,” gumam Wildan.

”Udahlah gak usah dipikirin, yang penting kan ini!” ucap Tomo sambil mengipas mukanya dengan sertifikat.

”Wah, sekarang berarti sertifikat gua udah ada 50-an. Banyak juga ya?” ucap agil mengira-ngira.

Setelah lama berbincang, Wildan mulai merasa ada yang aneh.

”Satu... dua... tiga... empat... lima... enam. lho kok ada enam?” Wildan menghitung jumlah mereka.

“Satu... dua... tiga... empat... lima... enam.” Wildan mengulangi lagi.

Setelah itu baru lah mereka sadar ada yang tidak beres.

“Kamu siapa?” tanya agil pada wanita yang duduk disebelahnya.

Rambut wanita itu menutupi wajah. Gaunnya berwarna putih. Kuku jari yang sangat panjang. Kulitnya berwarna kuning pucat serta terlihat percikan darah pada gaunnya.

“Saya Wening, mau daftar anggota laskar pemikat Hihihihihihihii hihihihhihihihi

hihihihih uhuwk (batuk berdahak).”

Jumat, 10 April 2009

Aku, Hati dan Tuhan

AKU, HATI, DAN TUHAN

(Wildan Duasisi)


peluk tubuhku, Tuhan.

aku merasa dingin kala cinta menjadi getaran di gendang telinga yang kemudian menggesek wajah kalbu dalam tempurung tekadku, menjelma sebagai bulir dalam nadi, menjadi nyanyian degup jantung yang memburu nyawaku seiring waktu mengibaskan pedati pada rotasi, menjadi aroma busuk mengepul di rongga hidung yang membuatku sesak dan mual hingga memuntahkan logika.

Tuhan, biar ku pinjam tanganmu.

aku ingin meremas keras cinta semu yang begitu mudahnya menghilang seperti asap dan kabut dalam jiwaku. tidakkah Kau terpejam saat seorang gadis menghadiahkan cinta, kemudian aku tertawa sambil membelah dua jangtungnya. ia rekatkan kemudian menghadiahkannya kembali sambil tersenyum lugu. aku menyeringai seperti srigala menatap mangsa.

Sebuah Janji di Musim Gugur


SEBUAH JANJI DI MUSIM GUGUR
(Wildan Duasisi)

Saat itu angin agak senewen, menggoncang-goncangkan tubuh kurus batang suren, membuat debu beterbangan, berputar-putar kemudian hilang, seperti ruhku yang hilang dalam lamunan. Seolah Tuhan mengirimnya ke sebuah negeri dimana langitnya selalu berwarna jingga senja, dimana seorang mubtadi cinta melangkah perlahan menuju bangku taman, menanti seorang bocah lelaki yang berjanji akan mengajaknya melakukan sebuah permainan.
Lama gadis itu menanti. Namun, lagi-lagi hanya terdengar langkah kisik angin barat yang menggesek daun-daun yang tumpang tindih di tanah, saat hari menjelma malam. Rasa dingin mulai menjalar dari bentang kulit ke jantung, merambat melalui syaraf kekecewaan.
Seperti sebelas tahun lalu, aku menanti bocah lelaki yang kini telah tumbuh dewasa itu di bangku taman ini. Ya, masih di bangku ini. Tepat ketika awan mega mementaskan teater senja di panggung langit. Mungkin sepasang boneka ini akan membuatnya semakin mudah meretas kenangan. Kupandangi kedua boneka yang sering kami mainkan dulu. Aku berharap ia akan mengurungkan niatnya.
Dulu, saat musim memaksa daun-daun meninggalkan rantingnya, aku mendengar bisikan lirih, namun terus menggema, memantul-mantul di dinding ruang hati. Dengan malu-malu, bocah lelaki itu berkata, “aku mau jadi pacarmu”. Disusul suara adzan yang seolah menjadi soundtrack sebuah kisah dimusim gugur. Seketika wajahku memerah, semerah paras mentari senja itu.
Memang aku tak dapat melihat waktu, namun ia jelas ada dan tak pernah tertidur. Ia membuat bocah lelakiku tumbuh remaja, hingga ia tak mau lagi bermain boneka. Sekalipun ia tahu aku selalu menantinya tiap sore di bangku taman ini, ia sama sekali tak pernah datang seperti biasanya bersama Gugo – boneka Tazmanianya. Sempat aku memaksanya datang, namun malah membuatnya marah. Sampai-sampai ia menggunting hingga putus tangan Gugo dan melemparkannya tepat pada wajahku.
Kembali kupandangi Abela, boneka barbie-ku. Nampak kumal dan lusuh karena sudah menahun disekap dalam kardus bersama bangkai kecoa dan segunduk perabot bekas. Disamping kanannya duduk tenang Gugo si Tazmania yang menjadi tempat Abel bersandar.
Ini bukan pertama kalinya dia membuncahkan air mataku. Sebelumnya, ia pernah mengkhianati kepercayaanku. Ia lebih memilih menjalin cinta bersama wanita lain yang baru ia kenal. Sementara aku, wanita lugu yang sudah mendampinginya selama sebelas tahun, dikubur dalam-dalam hingga tak mungkin mencuat sehelai rambut pun.
Sedih bila kuingat sebuah janji di masa kecil dulu. Diatas tanah berlapis debu kami duduk. Ia tuliskan nama kami di sana. Kemudian sebuah gambar hati membalut nama-nama itu: Wildan – Selvy.
Kami lingkarkan jari kelingking kami dan melafalkan janji manusia-manusia lugu. “Kami berjanji, akan menjadi pasangan sejati, setia sampai mati. Kami, di bawah pohon suren, di atas bangku taman, telah resmi menjadi sepasang kekasih. Kalau nanti kami diberi umur panjang, kami akan menikah.”
Sepasang merpati mengamati dan nampak tertawa dalam hati mendengar bocah-bocah berumur delapan tahun berpikiran jauh untuk menikah. Lagi-lagi adzan magrib mengiringi kisah kami, sekaligus menjadi alarm untuk kami berpisah.
Kini ia temukan lagi seorang wanita yang membuatnya harus melepasku. Padahal dulu, aku sudah memaafkannya dan percaya kalau dia takkan menghianati lagi kepercayaanku. Namun salah. Kini aku menunggunya karena katanya ia ingin membicarkan hal itu. Aku tetap datang walau aku tahu ia hanya ingin bilang “kita putus”. Dan ternyata dugaanku benar.
Kesedihan membuatku lupa segalanya. Yang aku ingat kini hanya saat pertama aku dan seorang bocah kecil bertemu. Seorang bocah dengan boneka di tangannya. Oh ya, saat itu aku terjatuh dari sepedaku karena aku terkejut saat sebuah mobil menjerit memberikan bunyi klakson dari arah belakang. Ia datang, merangkulku menuju bangku taman – sebuah tempat yang penuh kenangan. Sambil memperlihatkan senyum dan gusi ompongnya, ia membasuh lukaku dengan air minumnya.
Angin mengibaskan sepercik keluguanku hingga muncul sebuah perasaan yang tak aku kenal. Membuatku selalu tersenyum sendiri sambil memandang langit-langit kamar. Apa sebenarnya ini? Mengapa aku selalu teringat wajah lugunya? Mungkinkah ini yang orang-orang bilang cinta? Mengapa harus pada pertemuan pertama? Sungguh banyak pertanyaan dalam benakku.
Namun hari ini, aku hanya mampu mengadu pada purnama tentang muasal mengalirnya air mata yang menghulu di pipiku, tentang seorang lelaki yang tak sadar betapa setianya aku menanti. Benar-benar sulit kuterima saat kata “putus” itu kudengar begitu lantang. Ia datang bersama gadis yang pasti akan menggantikan posisiku dalam hatinya itu, mendadak hawa panas mengepul di taman senja itu.
“Dan, lihatlah! Aku sudah menjahit lengan Gugo-mu yang putus.” ucapku seolah takkan terjadi apa-apa. Padahal sekuat mungkin kutahan sesak dalam dada. Mungkin dia bisa membaca perasaanku karena suaraku terdengar gemetar.
Lelaki itu tak merespon, hanya melihat sekejap boneka Tazmanianya.
“Oh iya, lihat disana! Aku menuliskan lagi nama kita di atas tanah,” ucapku lagi untuk membuatnya ingat betapa indah kisah cinta kami saat kecil dulu.
Dia masih terdiam. Lelaki itu malah menggenggam tangan wanita disampingnya. Itu yang membuat usahaku untuk menahan tangis berakhir sudah. Saat aku menagis dulu karena terjatuh dari sepeda, dia yang menyeka air mataku. Namun kini, aku membiarkan air mata ini kering oleh angin musim gugur. Kemudian lelaki itu berkata dengan tegas, ”Dia wanita yang aku pilih. Maafkan aku, Vy! Kurasa kau telah dewasa untuk menerimanya.”
Hingga saat ini aku masih menantinya di taman bersama sepasang boneka yang juga nampak penuh harap. Sepasang merpati yang dulu menjadi saksi terjalinnya cinta kami, datang kembali bersama tiga ekor buah hati mereka. Aku iri.
Tak dinyana, lelaki yang kutunggu kehadirannya yang tak pasti itu, datang bersama malaikat bersayap jingga di pundaknya. Ia menghampiri dan meminta maaf kepadaku untuk kedua kalinya. Aku terlalu senang hingga tak banyak berfikir untuk menerima cintanya kembali. Dan untuk kedua kalinya pula kami ucapkan sebuah janji yang sama seperti dulu sambil melingkarkan jari kelingking kami.
“Kami berjanji, akan menjadi pasangan sejati, setia sampai mati. Kami, di bawah pohon suren, di atas bangku taman, telah resmi menjadi sepasang kekasih. Kalau nanti kami diberi umur panjang, kami akan menikah.”
Namun sayang itu hanya khayalan. Bayangan lelaki itu hilang bersama datangnya malam. Sepasang merpati nampaknya menangis dalam hati. Dia tak pernah kembali.

Demi Sebuah Hurup

DEMI SEBUAH HURUP

(Wildan Duasisi)


Ia menemukan sebuah telur angsa sebesar anak gajah. Telur yang berwarna hitam legam dengan sebuah tulisan melingkar berbunyi “Kahayang Gusti nu Widi”. Tertulis dengan tinta berwarna keemasan. Yang membuat matanya tak rela berkedip adalah ketika tujuh malaikat datang bersama sayap-sayap di pundak mereka yang berjumlah empat dari arah matahari terbenam, berdiri mengitari benda elips yang tergeletak di atas hamparan pasir itu. Matanya memburu apa yang akan terjadi setelah perlahan telur itu retak, retakannya merayap perlahan menuju seluruh cangkang. Desir angin menyibakan pasir padang gurun senja, membuat suasana hening sejenak.

Muncullah sesosok makhluk aneh berlendir berkulit hijau kebiruan dari dalam telur, kepala bagian atasnya tampak keropos seperti bekas digerogoti rayap, tampaklah otaknya mencuat. Matanya bulat, lebih lebih menonjol dari dahinya yang agak datar. Bila ia bernapas, terdengar bunyi aneh seperti terkena bengek akut. Otot kaki kanannya nampak tak dapat digerakan. Ia berjalan terseret menuju Raman. Dipeluknya kaki Raman sambil memperlihatkan tatapan mata mengiba. Raman tak bisa menahan jijik dengan lendir yang kini berbalur di kakinya. Ia mengibaskan kaki sehingga makhluk itu terpental. Namun makhluk itu tetap saja menghampiri Raman dan kembali memeluk kaki lelaki ‘kepala empat’ itu.

“Mimpi yang aneh,” ceritanya padaku.

Cahaya pagi menerobos masuk ke dalam kamar, tak sabar masuk ketika tirai perlahan dibuka. Mata Rahman, suamiku, tertuju pada genangan air sisa-sisa hujan semalam. Gelagak tawa burung-burung gereja mengawali sebuah kisah hari ini. Mertapal berbisik lantang kepada hijaunya rumput dan lukisan sisa-sisa langit kemerahan. Tarian pohon menjadi gesture pujian bagi lelaki yang baru saja meraih sebuah piala – Guru SMA teladan. Pialanya terpampang gagah di atas lemari yang berdiri disudut ruangan kamarnya. Warna peraknya memantulkan cahaya pagi sehingga terlihat begitu mewah.

“Pak, jangan lupa bukunya!” ucapku mengingatkannya ketika ia hendak pergi mengajar.

Kuperhatikan ia berjalan menghampiri lemari es, kemudian membuka pintunya, matanya menyusuri seisi lemari es. Tak lama ia menepuk jidaknya dengan telapak tangan.

“Ya ampun, masa aku mencari buku ke dalam lemari es,” ucapnya tertawa sendiri.

Aku hanya tersenyum sambil melanjutkan sarapan.

Suamiku adalah pria yang paling sabar yang aku kenal. Mungkin karena usianya tujuh tahun lebih tua dariku, sehingga ia begitu bijak dalam bersikap. Sekalipun ia sadar bahwa istrinya tak dapat memberikan momongan, ia tetap setia tanpa mengeluh atau bahkan berniat menceraikan aku. Satu cita-citanya adalah, ia ingin melanjutkan kuliah S2 dan menjadi dosen. Hanya saja masalah kantong yang jadi kendala. Aku hanya Ibu rumah tangga, ditambah lagi suamiku harus menanggung hutang biaya perawatan dan operasi adik laki-lakinya yang meninggal karena infeksi pernapasan.

Setiap kali ada undangan untuk menghadiri ritual nurunkeun – ritual masyarakat Sunda yang dilakukan kepada bayi sebagai simbol pijakan kaki ke bumi yang pertama – dilakukan dengar cara menggunting rambut dan menginjakan kaki bayi ke tanah, selalu kuperhatikan cara ia menatap bayi mungil itu. Ia memperhatikan matanya yang kecil, yang jarang berkedip, tangan kecilnya yang menggenggam angin, bibir tipis yang membuka memperlihatkan gusi merah tanpa gigi. Seolah ada hasrat ingin memeluknya dan mencium kening bayi tersebut sambil berkata “Jagoan ayah sudah lahir.” Senyumnya memancarkan kebahagiaan yang teramat sangat, seolah ia adalah ayah bayi itu. Aku hanya mampu menahan sedikit tangis yang ingin memburai.

Setiap malam ia membaca layaknya seorang profesor. Buku-buku yang ia baca bukan hanya buku pengajaran SMA. Salah satu buku favoritnya adalah buku Linguistik buah karya Prof. Soeparno. Dan malam itu, saat ia sedang sibuk membaca buku favoritnya, suara telepon rumah berbunyi. Aku segera berlari setelah mengangkat telepon yang rupanya dari Pak Camat. Kutinggalkan mereka yang sedang berbincang-bincang lewat telepon.

Ia datang kepadaku dengan senyum yang tak seperti biasanya. Matanya berbinar, giginya yang gingsul nampak jelas terlihat.

“Ibu, Pak Camat bersedia membiayai kuliah Bapak!!!” ucapnya setengah berteriak seraya merentangkan tangannya menunggu pelukan.

Aku terhanyut dalam kebahagiaan, tanpa terasa air mata jatuh terlalu deras dalam pelukannya.

“Tiga bulan lagi bapak akan masuk kuliah,” imbuhnya sedikit tersedu.

Di dalam ruangan belajarnya, ia mencari buku yang baru saja ia baca. Raman suamiku sering lupa, entah mengapa.

Buku itu terbaring di samping telepon. Tepat di samping kanannya.

“Bu, apakah Ibu yang pindahkan buku ini?”

“Kan Bapak tadi bawa waktu terima telepon dari Pak Camat?”

“Apa iya tadi Bapak pegang buku? Perasaan Bapak baru bangun tidur,” ujarnya mengerutkan dahi.

Semakin hari penyakit lupanya semakin parah. Saat pulang mengajar ia taruh tas kerjanya di atas rak sepatu. Tadinya aku kira itu karena ia kecapaian. Tapi ia mulai kurang fokus belajar. Sering kali lupa apa yang kemarin ia baca.

“Bu, tolong temani Bapak belajar ya!” pintanya dengan nada yang halus.

Ia duduk di atas kursi belajarnya sambil memegang sebuah buku. Kipas listrik menyala dengan kecepatan maksimal. Namun keringat di lehernya masih saja mengucur perlahan.

Di usianya kempat puluh tahun, aku masih merasa ia tetap lelaki muda yang selalu mengajakku melihat matahari terbenam di ujung telaga Pasir Raya. Ia masih sama seperti dulu, sering membangunkanku dengan membisikan sebuah puisi yang ia buat semalaman. Kadang, saat aku sakit, ia tak pernah mau beranjak menemaniku di atas tempat tidur sambil mendongengkan sebuah cerita. Kadang tentang Abu Nawas, kadang cerita si Kabayan, malah pernah juga cerita tentang si Kancil dan Buaya. Aku selalu merasa dimanja. Satu humor yang aku sukai adalah jika aku muntah karena masuk angin pasti ia berkata, “Hamil nih pasti. Ayo kita ke rumah sakit.” Padahal ia tahu benar aku mandul.

Aku menemaninya belajar. Ia menyuruhku memegang bukunya. Kuambil buku itu dengan penuh rasa heran. Apa yang terjadi padanya? Matanya menyipit nampak berusaha mengingat keras. Rambutnya yang lurus, berantakan seperti mie instan diaduk-aduk.

“Akhir-akhir ini Bapak sering lupa teori yang padahal sejak dulu Bapak hafal,” adunya dengan raut muka seperti orang terbebani.

“Coba ibu sebutkan sebuah istilah, Bapak akan coba menjawab!” imbuhnya.

“Baik, Pak. Coba arti dari kata fraseologi!”

Matanya makin menyipit. Aneh, benar-benar aneh.

“Kalau begitu coba dengan istilah diakronis!”

Ya Allah, bahkan ia lupa istilah bahasa yang menjadi judul artikelnya, judul artikel yang membuatnya menjadi pemenang lomba guru teladan se-Jawa Barat.

***

“Nama penyakit apa itu, Dok?”

Dokter itu terdiam. Tangannya mengelus-elus dagunya yang ditumbuhi sedikit janggut beruban. Keningnya berkerut, memikirkan bahasa yang akan disampaikan agar tak mengejutkan.

“Itu adalah sebuah penyakit yang serius. Alzheimer adalah penyakit yang menyerang ingatan. Sebenarnya jarang sekali orang seusia suami anda yang mengidap penyakit ini. Kebanyakan penyakit ini muncul pada wanita berusia lebih dari 50 tahun.”

“Tolong jelaskan lebih rinci, Dok! Apa yang akan terjadi pada suami saya?”

“Sebaiknya ibu jangan dulu memberitahu suami ibu!”

Kemudian dokter terdiam lagi sejenak. Ia menarik napas panjang, mencoba mengingat semua yang pernah terjadi pada pasien-pasiennya dahulu.

“Daya ingat suami Ibu akan merosot jauh melebihi waktu yang seharusnya. Ia akan lupa semua tiap harinya. Apa yang telah dijalaninya hari ini akan ia lupa di hari esok. Dan dengan cepat pula ia akan lupa cara beritung, bahkan mungkin membaca. Selain itu ia akan lupa cara berpakaian, dan ia takkan ingat siapa Ibu. Intinya dia tidak akan bisa lagi melakukan semua hal dengan benar.”

***

Bintang-bintang tak terhitung jumlahnya, tercecer di langit violet. Heningnya malam ini menyaksikan kami yang sedang menikmati kenangan masa-masa saat menjadi pengantin baru. Suara jangkrik yang berkolaborasi dengan instrumen nyanyian katak menambah sendu suasana malam itu. Dinginnya malam membuat daun-daun meneteskan air embun. Tarian pepohonan terasa melankolis. Terhampar tikar di atas rerumputan halaman rumah kami yang sederhana. Dulu, disini – ya tepat di halaman ini, ia ceritakan betapa keras hidupnya saat kecil sambil berbaring di atas tikar, memandangi bintang dan bulan yang menjelma sempurna sebagai purnama.

“Dulu, waktu bapak SD, bapak tidak pernah diberi uang saku. Setiap pulang sekolah, Bapak mencari pelebah pisang untuk kemudian dijemur. Setelah itu, Bapak rajut menjadi sebuah tali dan kemudian Bapak jual kepada para pedagang di pasar.”

Saat berhenti bercertia sejenak, ia menatap mataku. Tatapan matanya begitu tajam. Mendadak pipiku memerah. Maklum, pengantin baru.

“Tapi saat Bapak SMP, mereka tak mau lagi membeli tali pelepah pisang, mereka telah punya yang namanya tali plastik. Akhirnya Bapak berganti profesi menjadi penjual es keliling di sekolah.” ucapnya kenangku.

Hari ini, aku hanya ingin membuatnya selalu ingat semua hal, termasuk kenangan-kenangan indah bersamaku. Maka dari itu, di halaman rumah kami ini, aku mengajaknya bernostalgia.

“Pak, ingatkah puisi ini?” aku membuka sebuah lembaran yang sejak dulu terselip di antara halaman buku harianku. Buku harian yang tak pernah lagi kuisi, karena aku telah punya tempat yang lebih baik untuk mencurahkan isi hatiku – suamiku.


SELAMAT MALAM WAHAI PAGI

Selamat malam, wahai jiwa-jiwa yang melayang dalam pembaringan kelam

Yang memberi terang hingga redup malam yang pekat

Selamat malam, wahai asap, kabut, dan tirai angin jendela pagi

Selamat malam siapapun yang mendengar, selamat malam menjelang pagi

Inilah stensil hidupku bersama fiksi dongeng masa silam

Inilah harapan dari bayang-bayang yang sempat singgahi hari esok

Selamat pagi, wahai jiwa-jiwa yang berlabuh di batas buana

Yang berganti terang perlahan

Selamat pagi wahai embun, kesejukan dan kemilau kening daun, dan sorot mata malaikat tanpa sayap

Malaikat yang selalu hadir sebagai pendamping hidupku, muncul saat pertama mata terjaga

Selamat pagi menjelang siang, kukabarkan apa yang hendak aku sampaikan

Aku bahagia karena cintaku hadir dari kenangan masa lalu

Untuk merajut masa depan bersama hingga hari bergulir penuh kenangan


Selamat tinggal malam, selamat tinggal pagi, selamat tinggal untuk setipa hari yang sempat kutapaki


“Tentu Bapak ingat, Bu. Itu kan puisi yang bapak bacakan saat hari pernikahan kita. Itu mas kawin kita yang yang Bapak sertakan bersama seperangkat alat solat, ‘kan?” jawabnya yakin tanpa menoleh, tatapannya tetap tertuju pada rembulan.

“Memang, entah mengapa Bapak sering lupa. Dan akhir-akhir ini banyak sekali yang Bapak lupa. Kenpa ya, Bu? Amnesia apa, ya?” imbuhnya dengan sedikit canda.

“Kalo Bapak Amnesia, apa yang tak ingin Bapak lupa?” tanyaku.

“Yang paling tak ingin Bapak lupakan adalah wanita cantik yang menjadi istri Bapak. Bapak tak akan pernah lupa tiap hurup namanya.”

”Istri Bapak ini kan mandul. Masihkan Bapak tak ingin melupakannya saja kalau Amnesia?” tanyaku mengetes.

“Ah, Ibu. Bicara apa, sih? Bapak itu sayang sama Ibu. Sangat… sangat dan sangat.”

Dalam senyum puasku, aku menangis juga dalam hatiku. Aku teringat kata Dokter tadi siang. Ternyata pengaduanku berbuah berita buruk.

“Penyakit itu belum ada penyembuhnya. Bahkan penyebabnya saja belum ditemukan secara pasti. Yang bisa saya berikan adalah nasihat. Buatlah ia selalu mengasah ingatannya! latihlah terus! Ibu sangat memerlukan kesabaran, karen lambat laun ia akan lupa cara buang air yang benar.”

Aku tak mampu menahan tangis, di tempat itu pula aku menangis. Aku membayangkan Einstain-ku menjadi orang pikun yang tak bisa apa-apa. Aku bayangkan ketika aku bangun, tak lagi ada puisi di tempat tidur, yang ada ia bertanya, siapa kamu.

***

“Bu, temani Bapak belajar, ya! Coba Ibu tes Bapak! Bapak merasa banyak teori yang bapak lupa, padahal perkuliahan mulai dua bulan lagi.” Ucapnya setengah berteriak.

Dinding biru terdiam, ia tak ingin mengatakan rahasiaku, rahasia tentang penyakitnya.

“Ya sudah, kalau begitu coba Bapak jelaskan kembali tentang signifie dan signifiant!” pintaku setelah membuka halaman pertama bukunya.

“Bu, jangan yang belum bapak baca, halaman depan saja!”

Ia tak ingat kalau ia sudah berkali-kali membaca mengenai signifie dan signifiant, karena itu ada pada halaman pertama bukunya. Sudah banyak juga perubahan yang saya rasa. Tempo bicaranya agak lemban. Tatapan matanya sudah tak setajam dulu.

Esoknya aku mengetes ingatannya terhadap buku-buku SMA, tapi lusanya ia tak ingat lagi. Kemudian bahkan ia tak ingat kalau ia seorang guru. Setiap kali bangun tidur ia menatapku penuh selidik.

“Bapak kenapa melihatku seperti itu?”

Ia menatapku wajahku seperti mencoba mengingat sesuatu.

“Maaf, kamu siapa?” tanyanya.

Aku tak lagi bisa menahan air mata. Kata-kata itu sama sekali berbeda dengan ucapan suamiku yang biasa berkata “Selamat pagi, malaikat tak bersayap!”

Sungguh aku merasa asing baginya. Setiap hari aku akan mengingatkan dari awal bagaimana ksmi sampai menikah.

“Nama saya Amah, saya istri Bapak. Ingat kah Bapak malam itu. Bapak bilang tak akan melupakan tiap hurup nama Ibu. Pak, Ibu mohon jangan lupakan Ibu. Amah, nama Ibu Amah.”

Kini yang dilakukan tiap pagi adalah membuka semua pintu rumah satu persatu. Yang ia cari adalah pintu kamar mandi. Tiap malam aku akan menemaninya belajar, karena ia tak ingin melupakan ilmunya yang ia dapat dengan berjualan tali pelepah pisang. Sekarang, aku harus mengganti semua buku perkuliahannya dengan buku berjudul “Cara Cepat Bisa Membaca”. Hari ini aku mengajarinya menulis hurup ‘A’, maka besoknya ia akan lupa lagi. Kemudian aku ajarkan kembali hurup ‘A’, besoknya lagi-lagi ia lupa, begitu terus menerus.

Di pagi hari aku mengajarkannya menulis dan membaca, masih hurup ‘A’, siangnya aku mengajarkannya lagi hurup ‘A’. Setelah bangun tidur siang masih juga hurup ‘A’. tapi ia tak akan bosan karena ia tak akan ingat kalau ia pernah mempelajari hurup yang sama kemarin.

Senja itu telaga nampak lebih berkilau dengan pernak-pernik hiasan parasnya. Terpantul bola jingga kekuningan yang sedikit mewarnai hatiku yang pekat penuh kesedihan. Aku peluk tubuh tambun suamiku yang kini kurus sekali. Tulang-tulangnya terlihat menonjol dibalik kulitnya yang mengendur. Air mata menetes jatuh ke dadanya. Aku ingat bagaimana dulu ia membisikan sebuah puisi romantis di tepi telaga ini.

Masih belum juga ada peningkatan. Bosan juga bila setiap kali bangun tidur, aku harus mengingatkannya bahwa aku ini istrinya yang sah. Istri yang telah berbagi arau duka dan bahagia, bersama mendaki gunung derita dan menikmati puncak bahagia. Sayangnya lembah takdir kini muncul begitu curam. Dan aku masih harus mengajarkan sebuah hurup yang terus ia lupa. Justru perubahan ada padaku yang kini terlihat agak gemuk. Akhir-akhir ini aku sering merasa mual. Baru aku tahu kalau ternyata aku tengah hamil tiga bulan. Keajaiban itu datang justru untuk menemani duka yang memburai meninju awan.

“Ayo, Pak! Ayo kita belajar lagi menulis hurup ‘A’. di sini suasananya sangat enak.”

Dengan hati-hati ia menggoreskan pensilnya ke muka kertas putih. Wajahnya datar tanpa ekspresi.

“Apa begini?” tanyanya sambil menyodorkan kertasnya.

“Ia, Benar. Tapi Bapak belum membuat garis ditengahnya.”

Sejenak hening. Udara membuat rambut lelaki jenius itu menari-nari. Ia pun memejamkan mata sambil merasakan udara yang melintas tanpa permisi pada wajahnya. Perlahan dengan nada berbisik, aku ucapkan sebuah kalimat ke telinganya.

“Pak, saya hamil.”

Angin seketikan berhenti berhembus.

“Bapak akan jadi Ayah.”

Terlihat sebuah senyum yang telah lama hilang sama sekali. Senyum yang amat manis. Senyum itulah yang membuatku selalu tenang bersamanya. Ketenangan yang selalu menghiasi rumah kami yang sepi. Ia yang selalu memelukku dari belakang ketika aku sedang mencuci pakaiannya. Semua tentang dia muncul dari paras kakunya. Sayangnya semua itu berakhir bersama sebuah penyakit bernama alzheimer.

Malamnya aku masih melihatnya memegang pinsil dan menari-narikannya di atas buku. Nampaknya ia sedang keras berlatih menulis hurup ‘A’ agar esok tak lupa. Hingga larut ia masih saja menulis. Apa karena kehamilanku, ia begitu keras berusaha.

Pagi kembali datang, lelaki itu belum bangun karena semalaman bargadang hingga tertidur di kursi belajarnya. Jika sedang tertidur ia nampak tak berbeda dengan Raman yang dulu. Kulihat seberapa banyak ia menulis hurup ‘A’. Tak dinyana, ia semalam bukan menulis hurup ‘A’, melaikan sesuatu yang baru yang muncul dari ingatan masa lalunya. Diantara runtunan hurup ‘A’ yang jumlahnya tak terhitung lagi, ada sesuatu yang membuat hatiku tak karuan. Ia menulis sebuah kata walau samar terbaca– “AMAH”. Kukecup kening lelaki yang tengah terbuai mimpi itu. Terimakasih kau mengingat tiap hurup namaku, seperti janjimu. Air mata jatuh melintasi garis halus senyumku.