Cerpen Laskar Pemikat

Cerpen berdasarkan kisah nyata dengan sentuhan kegaringan

Friendsterku

Jumat, 10 April 2009

Demi Sebuah Hurup

DEMI SEBUAH HURUP

(Wildan Duasisi)


Ia menemukan sebuah telur angsa sebesar anak gajah. Telur yang berwarna hitam legam dengan sebuah tulisan melingkar berbunyi “Kahayang Gusti nu Widi”. Tertulis dengan tinta berwarna keemasan. Yang membuat matanya tak rela berkedip adalah ketika tujuh malaikat datang bersama sayap-sayap di pundak mereka yang berjumlah empat dari arah matahari terbenam, berdiri mengitari benda elips yang tergeletak di atas hamparan pasir itu. Matanya memburu apa yang akan terjadi setelah perlahan telur itu retak, retakannya merayap perlahan menuju seluruh cangkang. Desir angin menyibakan pasir padang gurun senja, membuat suasana hening sejenak.

Muncullah sesosok makhluk aneh berlendir berkulit hijau kebiruan dari dalam telur, kepala bagian atasnya tampak keropos seperti bekas digerogoti rayap, tampaklah otaknya mencuat. Matanya bulat, lebih lebih menonjol dari dahinya yang agak datar. Bila ia bernapas, terdengar bunyi aneh seperti terkena bengek akut. Otot kaki kanannya nampak tak dapat digerakan. Ia berjalan terseret menuju Raman. Dipeluknya kaki Raman sambil memperlihatkan tatapan mata mengiba. Raman tak bisa menahan jijik dengan lendir yang kini berbalur di kakinya. Ia mengibaskan kaki sehingga makhluk itu terpental. Namun makhluk itu tetap saja menghampiri Raman dan kembali memeluk kaki lelaki ‘kepala empat’ itu.

“Mimpi yang aneh,” ceritanya padaku.

Cahaya pagi menerobos masuk ke dalam kamar, tak sabar masuk ketika tirai perlahan dibuka. Mata Rahman, suamiku, tertuju pada genangan air sisa-sisa hujan semalam. Gelagak tawa burung-burung gereja mengawali sebuah kisah hari ini. Mertapal berbisik lantang kepada hijaunya rumput dan lukisan sisa-sisa langit kemerahan. Tarian pohon menjadi gesture pujian bagi lelaki yang baru saja meraih sebuah piala – Guru SMA teladan. Pialanya terpampang gagah di atas lemari yang berdiri disudut ruangan kamarnya. Warna peraknya memantulkan cahaya pagi sehingga terlihat begitu mewah.

“Pak, jangan lupa bukunya!” ucapku mengingatkannya ketika ia hendak pergi mengajar.

Kuperhatikan ia berjalan menghampiri lemari es, kemudian membuka pintunya, matanya menyusuri seisi lemari es. Tak lama ia menepuk jidaknya dengan telapak tangan.

“Ya ampun, masa aku mencari buku ke dalam lemari es,” ucapnya tertawa sendiri.

Aku hanya tersenyum sambil melanjutkan sarapan.

Suamiku adalah pria yang paling sabar yang aku kenal. Mungkin karena usianya tujuh tahun lebih tua dariku, sehingga ia begitu bijak dalam bersikap. Sekalipun ia sadar bahwa istrinya tak dapat memberikan momongan, ia tetap setia tanpa mengeluh atau bahkan berniat menceraikan aku. Satu cita-citanya adalah, ia ingin melanjutkan kuliah S2 dan menjadi dosen. Hanya saja masalah kantong yang jadi kendala. Aku hanya Ibu rumah tangga, ditambah lagi suamiku harus menanggung hutang biaya perawatan dan operasi adik laki-lakinya yang meninggal karena infeksi pernapasan.

Setiap kali ada undangan untuk menghadiri ritual nurunkeun – ritual masyarakat Sunda yang dilakukan kepada bayi sebagai simbol pijakan kaki ke bumi yang pertama – dilakukan dengar cara menggunting rambut dan menginjakan kaki bayi ke tanah, selalu kuperhatikan cara ia menatap bayi mungil itu. Ia memperhatikan matanya yang kecil, yang jarang berkedip, tangan kecilnya yang menggenggam angin, bibir tipis yang membuka memperlihatkan gusi merah tanpa gigi. Seolah ada hasrat ingin memeluknya dan mencium kening bayi tersebut sambil berkata “Jagoan ayah sudah lahir.” Senyumnya memancarkan kebahagiaan yang teramat sangat, seolah ia adalah ayah bayi itu. Aku hanya mampu menahan sedikit tangis yang ingin memburai.

Setiap malam ia membaca layaknya seorang profesor. Buku-buku yang ia baca bukan hanya buku pengajaran SMA. Salah satu buku favoritnya adalah buku Linguistik buah karya Prof. Soeparno. Dan malam itu, saat ia sedang sibuk membaca buku favoritnya, suara telepon rumah berbunyi. Aku segera berlari setelah mengangkat telepon yang rupanya dari Pak Camat. Kutinggalkan mereka yang sedang berbincang-bincang lewat telepon.

Ia datang kepadaku dengan senyum yang tak seperti biasanya. Matanya berbinar, giginya yang gingsul nampak jelas terlihat.

“Ibu, Pak Camat bersedia membiayai kuliah Bapak!!!” ucapnya setengah berteriak seraya merentangkan tangannya menunggu pelukan.

Aku terhanyut dalam kebahagiaan, tanpa terasa air mata jatuh terlalu deras dalam pelukannya.

“Tiga bulan lagi bapak akan masuk kuliah,” imbuhnya sedikit tersedu.

Di dalam ruangan belajarnya, ia mencari buku yang baru saja ia baca. Raman suamiku sering lupa, entah mengapa.

Buku itu terbaring di samping telepon. Tepat di samping kanannya.

“Bu, apakah Ibu yang pindahkan buku ini?”

“Kan Bapak tadi bawa waktu terima telepon dari Pak Camat?”

“Apa iya tadi Bapak pegang buku? Perasaan Bapak baru bangun tidur,” ujarnya mengerutkan dahi.

Semakin hari penyakit lupanya semakin parah. Saat pulang mengajar ia taruh tas kerjanya di atas rak sepatu. Tadinya aku kira itu karena ia kecapaian. Tapi ia mulai kurang fokus belajar. Sering kali lupa apa yang kemarin ia baca.

“Bu, tolong temani Bapak belajar ya!” pintanya dengan nada yang halus.

Ia duduk di atas kursi belajarnya sambil memegang sebuah buku. Kipas listrik menyala dengan kecepatan maksimal. Namun keringat di lehernya masih saja mengucur perlahan.

Di usianya kempat puluh tahun, aku masih merasa ia tetap lelaki muda yang selalu mengajakku melihat matahari terbenam di ujung telaga Pasir Raya. Ia masih sama seperti dulu, sering membangunkanku dengan membisikan sebuah puisi yang ia buat semalaman. Kadang, saat aku sakit, ia tak pernah mau beranjak menemaniku di atas tempat tidur sambil mendongengkan sebuah cerita. Kadang tentang Abu Nawas, kadang cerita si Kabayan, malah pernah juga cerita tentang si Kancil dan Buaya. Aku selalu merasa dimanja. Satu humor yang aku sukai adalah jika aku muntah karena masuk angin pasti ia berkata, “Hamil nih pasti. Ayo kita ke rumah sakit.” Padahal ia tahu benar aku mandul.

Aku menemaninya belajar. Ia menyuruhku memegang bukunya. Kuambil buku itu dengan penuh rasa heran. Apa yang terjadi padanya? Matanya menyipit nampak berusaha mengingat keras. Rambutnya yang lurus, berantakan seperti mie instan diaduk-aduk.

“Akhir-akhir ini Bapak sering lupa teori yang padahal sejak dulu Bapak hafal,” adunya dengan raut muka seperti orang terbebani.

“Coba ibu sebutkan sebuah istilah, Bapak akan coba menjawab!” imbuhnya.

“Baik, Pak. Coba arti dari kata fraseologi!”

Matanya makin menyipit. Aneh, benar-benar aneh.

“Kalau begitu coba dengan istilah diakronis!”

Ya Allah, bahkan ia lupa istilah bahasa yang menjadi judul artikelnya, judul artikel yang membuatnya menjadi pemenang lomba guru teladan se-Jawa Barat.

***

“Nama penyakit apa itu, Dok?”

Dokter itu terdiam. Tangannya mengelus-elus dagunya yang ditumbuhi sedikit janggut beruban. Keningnya berkerut, memikirkan bahasa yang akan disampaikan agar tak mengejutkan.

“Itu adalah sebuah penyakit yang serius. Alzheimer adalah penyakit yang menyerang ingatan. Sebenarnya jarang sekali orang seusia suami anda yang mengidap penyakit ini. Kebanyakan penyakit ini muncul pada wanita berusia lebih dari 50 tahun.”

“Tolong jelaskan lebih rinci, Dok! Apa yang akan terjadi pada suami saya?”

“Sebaiknya ibu jangan dulu memberitahu suami ibu!”

Kemudian dokter terdiam lagi sejenak. Ia menarik napas panjang, mencoba mengingat semua yang pernah terjadi pada pasien-pasiennya dahulu.

“Daya ingat suami Ibu akan merosot jauh melebihi waktu yang seharusnya. Ia akan lupa semua tiap harinya. Apa yang telah dijalaninya hari ini akan ia lupa di hari esok. Dan dengan cepat pula ia akan lupa cara beritung, bahkan mungkin membaca. Selain itu ia akan lupa cara berpakaian, dan ia takkan ingat siapa Ibu. Intinya dia tidak akan bisa lagi melakukan semua hal dengan benar.”

***

Bintang-bintang tak terhitung jumlahnya, tercecer di langit violet. Heningnya malam ini menyaksikan kami yang sedang menikmati kenangan masa-masa saat menjadi pengantin baru. Suara jangkrik yang berkolaborasi dengan instrumen nyanyian katak menambah sendu suasana malam itu. Dinginnya malam membuat daun-daun meneteskan air embun. Tarian pepohonan terasa melankolis. Terhampar tikar di atas rerumputan halaman rumah kami yang sederhana. Dulu, disini – ya tepat di halaman ini, ia ceritakan betapa keras hidupnya saat kecil sambil berbaring di atas tikar, memandangi bintang dan bulan yang menjelma sempurna sebagai purnama.

“Dulu, waktu bapak SD, bapak tidak pernah diberi uang saku. Setiap pulang sekolah, Bapak mencari pelebah pisang untuk kemudian dijemur. Setelah itu, Bapak rajut menjadi sebuah tali dan kemudian Bapak jual kepada para pedagang di pasar.”

Saat berhenti bercertia sejenak, ia menatap mataku. Tatapan matanya begitu tajam. Mendadak pipiku memerah. Maklum, pengantin baru.

“Tapi saat Bapak SMP, mereka tak mau lagi membeli tali pelepah pisang, mereka telah punya yang namanya tali plastik. Akhirnya Bapak berganti profesi menjadi penjual es keliling di sekolah.” ucapnya kenangku.

Hari ini, aku hanya ingin membuatnya selalu ingat semua hal, termasuk kenangan-kenangan indah bersamaku. Maka dari itu, di halaman rumah kami ini, aku mengajaknya bernostalgia.

“Pak, ingatkah puisi ini?” aku membuka sebuah lembaran yang sejak dulu terselip di antara halaman buku harianku. Buku harian yang tak pernah lagi kuisi, karena aku telah punya tempat yang lebih baik untuk mencurahkan isi hatiku – suamiku.


SELAMAT MALAM WAHAI PAGI

Selamat malam, wahai jiwa-jiwa yang melayang dalam pembaringan kelam

Yang memberi terang hingga redup malam yang pekat

Selamat malam, wahai asap, kabut, dan tirai angin jendela pagi

Selamat malam siapapun yang mendengar, selamat malam menjelang pagi

Inilah stensil hidupku bersama fiksi dongeng masa silam

Inilah harapan dari bayang-bayang yang sempat singgahi hari esok

Selamat pagi, wahai jiwa-jiwa yang berlabuh di batas buana

Yang berganti terang perlahan

Selamat pagi wahai embun, kesejukan dan kemilau kening daun, dan sorot mata malaikat tanpa sayap

Malaikat yang selalu hadir sebagai pendamping hidupku, muncul saat pertama mata terjaga

Selamat pagi menjelang siang, kukabarkan apa yang hendak aku sampaikan

Aku bahagia karena cintaku hadir dari kenangan masa lalu

Untuk merajut masa depan bersama hingga hari bergulir penuh kenangan


Selamat tinggal malam, selamat tinggal pagi, selamat tinggal untuk setipa hari yang sempat kutapaki


“Tentu Bapak ingat, Bu. Itu kan puisi yang bapak bacakan saat hari pernikahan kita. Itu mas kawin kita yang yang Bapak sertakan bersama seperangkat alat solat, ‘kan?” jawabnya yakin tanpa menoleh, tatapannya tetap tertuju pada rembulan.

“Memang, entah mengapa Bapak sering lupa. Dan akhir-akhir ini banyak sekali yang Bapak lupa. Kenpa ya, Bu? Amnesia apa, ya?” imbuhnya dengan sedikit canda.

“Kalo Bapak Amnesia, apa yang tak ingin Bapak lupa?” tanyaku.

“Yang paling tak ingin Bapak lupakan adalah wanita cantik yang menjadi istri Bapak. Bapak tak akan pernah lupa tiap hurup namanya.”

”Istri Bapak ini kan mandul. Masihkan Bapak tak ingin melupakannya saja kalau Amnesia?” tanyaku mengetes.

“Ah, Ibu. Bicara apa, sih? Bapak itu sayang sama Ibu. Sangat… sangat dan sangat.”

Dalam senyum puasku, aku menangis juga dalam hatiku. Aku teringat kata Dokter tadi siang. Ternyata pengaduanku berbuah berita buruk.

“Penyakit itu belum ada penyembuhnya. Bahkan penyebabnya saja belum ditemukan secara pasti. Yang bisa saya berikan adalah nasihat. Buatlah ia selalu mengasah ingatannya! latihlah terus! Ibu sangat memerlukan kesabaran, karen lambat laun ia akan lupa cara buang air yang benar.”

Aku tak mampu menahan tangis, di tempat itu pula aku menangis. Aku membayangkan Einstain-ku menjadi orang pikun yang tak bisa apa-apa. Aku bayangkan ketika aku bangun, tak lagi ada puisi di tempat tidur, yang ada ia bertanya, siapa kamu.

***

“Bu, temani Bapak belajar, ya! Coba Ibu tes Bapak! Bapak merasa banyak teori yang bapak lupa, padahal perkuliahan mulai dua bulan lagi.” Ucapnya setengah berteriak.

Dinding biru terdiam, ia tak ingin mengatakan rahasiaku, rahasia tentang penyakitnya.

“Ya sudah, kalau begitu coba Bapak jelaskan kembali tentang signifie dan signifiant!” pintaku setelah membuka halaman pertama bukunya.

“Bu, jangan yang belum bapak baca, halaman depan saja!”

Ia tak ingat kalau ia sudah berkali-kali membaca mengenai signifie dan signifiant, karena itu ada pada halaman pertama bukunya. Sudah banyak juga perubahan yang saya rasa. Tempo bicaranya agak lemban. Tatapan matanya sudah tak setajam dulu.

Esoknya aku mengetes ingatannya terhadap buku-buku SMA, tapi lusanya ia tak ingat lagi. Kemudian bahkan ia tak ingat kalau ia seorang guru. Setiap kali bangun tidur ia menatapku penuh selidik.

“Bapak kenapa melihatku seperti itu?”

Ia menatapku wajahku seperti mencoba mengingat sesuatu.

“Maaf, kamu siapa?” tanyanya.

Aku tak lagi bisa menahan air mata. Kata-kata itu sama sekali berbeda dengan ucapan suamiku yang biasa berkata “Selamat pagi, malaikat tak bersayap!”

Sungguh aku merasa asing baginya. Setiap hari aku akan mengingatkan dari awal bagaimana ksmi sampai menikah.

“Nama saya Amah, saya istri Bapak. Ingat kah Bapak malam itu. Bapak bilang tak akan melupakan tiap hurup nama Ibu. Pak, Ibu mohon jangan lupakan Ibu. Amah, nama Ibu Amah.”

Kini yang dilakukan tiap pagi adalah membuka semua pintu rumah satu persatu. Yang ia cari adalah pintu kamar mandi. Tiap malam aku akan menemaninya belajar, karena ia tak ingin melupakan ilmunya yang ia dapat dengan berjualan tali pelepah pisang. Sekarang, aku harus mengganti semua buku perkuliahannya dengan buku berjudul “Cara Cepat Bisa Membaca”. Hari ini aku mengajarinya menulis hurup ‘A’, maka besoknya ia akan lupa lagi. Kemudian aku ajarkan kembali hurup ‘A’, besoknya lagi-lagi ia lupa, begitu terus menerus.

Di pagi hari aku mengajarkannya menulis dan membaca, masih hurup ‘A’, siangnya aku mengajarkannya lagi hurup ‘A’. Setelah bangun tidur siang masih juga hurup ‘A’. tapi ia tak akan bosan karena ia tak akan ingat kalau ia pernah mempelajari hurup yang sama kemarin.

Senja itu telaga nampak lebih berkilau dengan pernak-pernik hiasan parasnya. Terpantul bola jingga kekuningan yang sedikit mewarnai hatiku yang pekat penuh kesedihan. Aku peluk tubuh tambun suamiku yang kini kurus sekali. Tulang-tulangnya terlihat menonjol dibalik kulitnya yang mengendur. Air mata menetes jatuh ke dadanya. Aku ingat bagaimana dulu ia membisikan sebuah puisi romantis di tepi telaga ini.

Masih belum juga ada peningkatan. Bosan juga bila setiap kali bangun tidur, aku harus mengingatkannya bahwa aku ini istrinya yang sah. Istri yang telah berbagi arau duka dan bahagia, bersama mendaki gunung derita dan menikmati puncak bahagia. Sayangnya lembah takdir kini muncul begitu curam. Dan aku masih harus mengajarkan sebuah hurup yang terus ia lupa. Justru perubahan ada padaku yang kini terlihat agak gemuk. Akhir-akhir ini aku sering merasa mual. Baru aku tahu kalau ternyata aku tengah hamil tiga bulan. Keajaiban itu datang justru untuk menemani duka yang memburai meninju awan.

“Ayo, Pak! Ayo kita belajar lagi menulis hurup ‘A’. di sini suasananya sangat enak.”

Dengan hati-hati ia menggoreskan pensilnya ke muka kertas putih. Wajahnya datar tanpa ekspresi.

“Apa begini?” tanyanya sambil menyodorkan kertasnya.

“Ia, Benar. Tapi Bapak belum membuat garis ditengahnya.”

Sejenak hening. Udara membuat rambut lelaki jenius itu menari-nari. Ia pun memejamkan mata sambil merasakan udara yang melintas tanpa permisi pada wajahnya. Perlahan dengan nada berbisik, aku ucapkan sebuah kalimat ke telinganya.

“Pak, saya hamil.”

Angin seketikan berhenti berhembus.

“Bapak akan jadi Ayah.”

Terlihat sebuah senyum yang telah lama hilang sama sekali. Senyum yang amat manis. Senyum itulah yang membuatku selalu tenang bersamanya. Ketenangan yang selalu menghiasi rumah kami yang sepi. Ia yang selalu memelukku dari belakang ketika aku sedang mencuci pakaiannya. Semua tentang dia muncul dari paras kakunya. Sayangnya semua itu berakhir bersama sebuah penyakit bernama alzheimer.

Malamnya aku masih melihatnya memegang pinsil dan menari-narikannya di atas buku. Nampaknya ia sedang keras berlatih menulis hurup ‘A’ agar esok tak lupa. Hingga larut ia masih saja menulis. Apa karena kehamilanku, ia begitu keras berusaha.

Pagi kembali datang, lelaki itu belum bangun karena semalaman bargadang hingga tertidur di kursi belajarnya. Jika sedang tertidur ia nampak tak berbeda dengan Raman yang dulu. Kulihat seberapa banyak ia menulis hurup ‘A’. Tak dinyana, ia semalam bukan menulis hurup ‘A’, melaikan sesuatu yang baru yang muncul dari ingatan masa lalunya. Diantara runtunan hurup ‘A’ yang jumlahnya tak terhitung lagi, ada sesuatu yang membuat hatiku tak karuan. Ia menulis sebuah kata walau samar terbaca– “AMAH”. Kukecup kening lelaki yang tengah terbuai mimpi itu. Terimakasih kau mengingat tiap hurup namaku, seperti janjimu. Air mata jatuh melintasi garis halus senyumku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar